Kontroversi Gelar Pahlawan Soeharto: Korupsi Massal dan Pelanggaran HAM yang Tak Terbukti?
Sebagai jurnalis yang telah mengikuti dinamika politik Indonesia selama bertahun-tahun, saya melihat ini bukan sekadar perdebatan tentang satu nama. Ini adalah cermin dari bagaimana bangsa kita bergulat dengan masa lalu, di mana prestasi dan kegelapan berjalan beriringan. Mari kita kupas tuntas isu ini, mulai dari akar masalah hingga implikasinya bagi generasi muda hari ini.
Latar Belakang Penganugerahan Gelar Pahlawan
Soeharto, yang memimpin Indonesia selama 32 tahun melalui era Orde Baru (1966-1998), memang tak bisa dipungkiri sebagai arsitek utama kemajuan ekonomi negara. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia berubah dari negara agraris yang rapuh pasca-kemerdekaan menjadi salah satu kekuatan ekonomi Asia Tenggara. Program seperti swasembada pangan melalui revolusi hijau, pembangunan infrastruktur massal, dan stabilisasi politik pasca-G30S/PKI sering dikaitkan dengan jasanya. Tak heran jika pendukungnya, termasuk kalangan veteran dan tokoh ekonomi, mendorong penganugerahan ini sebagai bentuk penghargaan atas "senyuman Jawa" yang membawa stabilitas.
Namun, proses penganugerahan ini tak mulus. Pada awal November 2025, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan mengumumkan bahwa Soeharto memenuhi kriteria sebagai pahlawan nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009. Kriteria itu mencakup perjuangan melawan penjajah, pengabdian kepada bangsa, dan kontribusi luar biasa. Pengumuman ini datang tepat menjelang Hari Pahlawan, seolah ingin menegaskan bahwa sejarah tak boleh dilupakan. Tapi, justru inilah yang memicu badai. Keluarga Soeharto, seperti putrinya Siti Hardijanti Rukmana atau yang akrab disapa Mbak Tutut, menyambut gembira, mengklaim bahwa ayahnya telah memberikan segalanya untuk Indonesia tanpa mengharap imbalan.
Di sisi lain, aktivis HAM dan korban era Orde Baru langsung angkat bicara. Mereka menilai keputusan ini sebagai upaya "pencucian sejarah" yang mengabaikan sisi gelap kepemimpinan Soeharto. Bagaimana bisa seorang pemimpin yang dikaitkan dengan kasus-kasus besar seperti korupsi dan pembungkaman demokrasi dianggap sebagai teladan? Ini menjadi pertanyaan yang menggema di media sosial dan demonstrasi kecil-kecilan di Jakarta serta Yogyakarta.
Dugaan Korupsi Massal: Warisan yang Masih Mengganjal
Salah satu tuduhan paling berat terhadap Soeharto adalah korupsi yang sistematis dan massal selama masa jabatannya. Menurut laporan independen dari berbagai lembaga anti-korupsi, keluarga dan kroni Soeharto diduga menguasai aset negara melalui konglomerasi bisnis yang mendapat privilege khusus. Misalnya, program seperti monopoli impor dan ekspor yang dikuasai oleh anak-anaknya, atau dana yayasan-yayasan yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat tapi berakhir di kantong pribadi.
Ingat kasus Bank Bali atau Supersemar? Ini hanya puncak gunung es. Estimasi kerugian negara mencapai miliaran dolar AS, yang jika dihitung dengan nilai tukar saat ini, bisa mencapai puluhan triliun rupiah. Bahkan setelah lengser pada 1998 di tengah gejolak Reformasi, Soeharto sempat menjadi tersangka dalam kasus korupsi, meski akhirnya dibebaskan karena alasan kesehatan. Hingga kini, pada 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menangani kasus-kasus turunan dari era itu, seperti pemerasan dan penggelapan dana bantuan negara.
Pendukung Soeharto berargumen bahwa tuduhan ini tak pernah terbukti secara hukum. "Mana buktinya?" begitu kata mereka. Memang, proses peradilan pasca-Reformasi gagal membawa Soeharto ke pengadilan karena kondisi fisiknya yang menurun hingga wafat pada 2008. Tapi bagi korban, ini bukan soal bukti hukum semata, melainkan etika nasional. Bagaimana bangsa bisa maju jika pemimpin yang diduga koruptor justru diberi gelar tertinggi? Ini seperti memberi medali emas kepada pelari yang curang.
Pelanggaran HAM: Luka yang Belum Sembuh
Lebih parah lagi, era Orde Baru identik dengan pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum tuntas diselesaikan. Dari penembakan misterius (Petrus) di tahun 1980-an yang menargetkan preman dan kriminal, hingga tragedi Trisakti dan Semanggi pada 1998 yang menewaskan mahasiswa demonstran. Belum lagi kasus Tanjung Priok 1984, di mana ratusan warga Muslim tewas dalam kerusuhan, atau operasi militer di Aceh dan Papua yang dituduh sebagai genosida.
Komnas HAM telah menetapkan setidaknya sembilan kasus pelanggaran HAM berat selama Orde Baru, termasuk penculikan aktivis pada 1997-1998. Banyak korban dan keluarganya masih menuntut keadilan, tapi proses hukum mandek. Soeharto, sebagai panglima tertinggi saat itu, tak bisa lepas dari tanggung jawab komando. Meski tak ada vonis pengadilan, bukti sejarah dari saksi mata dan dokumen militer menunjukkan pola pembungkaman sistematis terhadap oposisi.
Di 2025 ini, ketika Indonesia sedang gencar membangun narasi rekonsiliasi nasional, penganugerahan gelar ini seperti tamparan. Aktivis seperti Munir Thalib (alm) atau keluarga korban 1965-1966 menyerukan agar pemerintah membatalkan keputusan ini. "Ini bukan penghargaan, tapi penghinaan terhadap korban," ujar seorang penyintas dalam wawancara baru-baru ini. Sementara itu, pemerintah berdalih bahwa gelar ini tak menghapus sejarah buruk, melainkan mengakui kontribusi positif.
Pro dan Kontra: Suara Masyarakat yang Terbelah
Survei terbaru menunjukkan masyarakat terbelah. Sekitar 80 persen responden dalam polling nasional mendukung gelar ini, terutama dari kalangan usia tua yang merasakan manfaat ekonomi Orde Baru. Mereka ingat masa ketika inflasi rendah, harga sembako stabil, dan keamanan terjaga. "Soeharto membawa kita dari kemiskinan ke kemakmuran," kata seorang pensiunan pegawai negeri.
Di sisi kontra, generasi muda dan kelompok sipil lebih vokal menolak. Di media sosial, hashtag #TolakPahlawanSoeharto trending sejak pengumuman. Mereka menyoroti bagaimana korupsi dan HAM menjadi akar masalah kriminalitas hari ini, seperti maraknya kasus pemerasan pejabat atau kekerasan aparat. Bahkan, tokoh seperti Rocky Gerung menyebut ini sebagai "manipulasi sejarah" yang bisa merusak demokrasi.
Protes tak hanya di jalanan. Beberapa anggota DPR dari fraksi oposisi mengusulkan revisi undang-undang gelar pahlawan untuk menyertakan klausul etika. Sementara itu, keluarga Soeharto tetap tenang, mengklaim bahwa ayah mereka tak pernah terbukti bersalah secara hukum.
Dampak ke Depan: Pelajaran untuk Indonesia Modern
Kontroversi ini tak hanya tentang masa lalu, tapi juga masa depan. Di tengah maraknya kasus kriminalitas seperti korupsi di sektor publik dan kekerasan berbasis politik, penganugerahan ini bisa menjadi preseden buruk. Apakah kita ingin generasi Z belajar bahwa kekuasaan absolut bisa dimaafkan asal ada prestasi? Atau, justru ini saatnya membangun narasi sejarah yang adil, di mana pahlawan adalah mereka yang bersih dari noda?
Pemerintah perlu mendengar suara rakyat. Mungkin inilah momentum untuk membuka kembali kasus-kasus lama melalui pengadilan khusus HAM, seperti yang dijanjikan dalam program rekonsiliasi nasional. Bagi pembaca, ini pengingat bahwa sejarah bukan hitam-putih. Soeharto punya jasa, tapi juga bayang-bayang gelap yang tak boleh diabaikan.
Akhir kata, sebagai bangsa yang sedang berkembang, Indonesia harus belajar dari kontroversi ini. Gelar pahlawan bukan sekadar medali, tapi simbol nilai yang kita anut. Apakah kita memilih melupakan luka demi stabilitas, atau mengejar keadilan demi masa depan yang lebih baik? Jawabannya ada di tangan kita semua.
