Indonesia Membela Kesepakatan Perdagangan Baru dengan AS: Tarif Nol Persen untuk China, Tapi Tantangan bagi Produk Lokal
Kabarsuarakyat - Di tengah gejolak ekonomi global, Indonesia hari ini mempertahankan sikap tegas membela kesepakatan perdagangan terbaru dengan Amerika Serikat, meski dihadapkan pada ketidakseimbangan tarif yang mencolok. Sementara barang-barang asal China menikmati akses bebas bea masuk ke pasar AS dengan tarif nol persen, produk Indonesia justru dibebani tarif hingga 19 persen. Langkah ini memicu perdebatan sengit di kalangan pengamat ekonomi, yang melihatnya sebagai ujian ketangguhan strategi dagang nasional.
Kesepakatan ini, yang diumumkan pekan lalu oleh Kementerian Perdagangan, mencakup penghapusan aturan konten lokal untuk sejumlah sektor industri, serta komitmen pengadaan barang dalam skala besar dari mitra AS. "Kami melihat ini sebagai peluang jangka panjang untuk memperkuat posisi Indonesia di rantai pasok global," ujar Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (28/7). Ia menekankan bahwa meski tampak merugikan di permukaan, perjanjian ini bisa membuka pintu bagi investasi asing yang lebih besar, terutama di bidang manufaktur dan teknologi.
Para analis ekonomi setuju bahwa dampaknya tak bisa dipandang sebelah mata. Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan bahwa tarif 19 persen ini bisa menekan daya saing eksportir lokal, khususnya di sektor tekstil dan elektronik. "Bayangkan saja, kompetitor kita dari China bebas biaya tambahan, sementara kita harus bayar premi tinggi. Ini seperti lomba lari dengan beban ekstra di kaki," katanya dalam wawancara eksklusif dengan tim redaksi kami. Namun, Faisal juga optimistis: dengan strategi pasca-kesepakatan yang cerdas, seperti diversifikasi pasar ke Eropa dan Asia Tenggara, Indonesia bisa membalikkan keadaan.
Di sisi lain, pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) merasakan getaran langsung dari perubahan ini. Seorang pengusaha tekstil di Bandung, yang enggan disebut namanya, mengeluhkan kenaikan biaya ekspor yang bisa mencapai ribuan dolar per kontainer. "Kami sudah berjuang dengan inflasi bahan baku, sekarang ditambah tarif ini. Harus ada dukungan pemerintah, seperti subsidi atau pelatihan untuk memenuhi standar AS," tuturnya. Respons pemerintah pun tak tinggal diam; mereka berjanji akan meluncurkan program bantuan ekspor senilai Rp 5 triliun untuk membantu UKM beradaptasi.
Lebih luas lagi, kesepakatan ini mencerminkan dinamika geopolitik di Asia Tenggara. Dengan AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump yang kembali berkuasa, fokus pada "America First" semakin kentara. Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di kawasan, dianggap memberikan konsesi terbesar dibandingkan tetangga seperti Malaysia atau Vietnam. "Ini bukan sekadar perdagangan, tapi permainan pengaruh. AS ingin mengimbangi dominasi China, dan Indonesia jadi pion kunci," analis politik internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar.
Meski begitu, ada sisi cerah yang tak boleh diabaikan. Kesepakatan ini membuka akses ke teknologi canggih AS, termasuk di sektor pertanian dan energi terbarukan, yang bisa mempercepat target netral karbon Indonesia pada 2060. Selain itu, komitmen pengadaan besar-besaran diproyeksikan menciptakan ribuan lapangan kerja baru di pabrik-pabrik lokal yang bekerja sama dengan perusahaan AS.
Sebagai penutup, perdebatan ini mengingatkan kita bahwa perdagangan internasional bukanlah arena hitam-putih. Indonesia harus lincah dalam menavigasi tantangan ini, memastikan bahwa kesepakatan tak hanya menguntungkan raksasa global, tapi juga rakyat kecil yang jadi tulang punggung ekonomi. Pantau terus perkembangan selanjutnya, karena langkah selanjutnya pemerintah bisa menentukan arah perekonomian nasional di tahun-tahun mendatang.
.webp)