Karhutla di Riau Juli 2025: Titik Api Mereda Berkat Kolaborasi TNI dan BMKG, Namun Risiko Masih Mengintai Hingga Agustus
Kabarsuarakyat - Di tengah musim kemarau yang semakin panas membara, Provinsi Riau berhasil menekan laju kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sepanjang Juli 2025. Titik api yang sempat melonjak hingga ratusan hotspot kini mulai mereda, berkat sinergi apik antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Namun, para pakar memperingatkan, ancaman kabut asap tebal masih mengintai hingga akhir Agustus, jika hujan tak kunjung datang.
Bulan Juli ini, Riau seperti berada di garis depan perang melawan api. Data sementara dari Posko Terpadu Karhutla Provinsi Riau mencatat, hotspot mencapai puncaknya pada pertengahan bulan, dengan lebih dari 150 titik api tersebar di kabupaten seperti Dumai, Bengkalis, dan Siak. Penyebab utamanya? Kombinasi antara praktik pembukaan lahan ilegal, cuaca ekstrem akibat El Niño yang berkepanjangan, dan angin kencang yang mempercepat penyebaran api. "Kami melihat lahan gambut yang kering seperti bubuk mesiu, siap meledak kapan saja," ujar Letkol Inf. Ahmad Riyadi, Komandan Satgas Karhutla TNI di Riau, saat ditemui di lapangan pekan lalu.
Kolaborasi TNI dan BMKG menjadi kunci sukses dalam memadamkan api. TNI mengerahkan ratusan personel, lengkap dengan helikopter water bombing dan tim patroli darat yang tak kenal lelah. Sementara BMKG, dengan teknologi modifikasi cuaca canggihnya, berhasil memicu hujan buatan di beberapa titik rawan. "Kami menggunakan pesawat seeding untuk menyemai awan dengan garam higroskopis, sehingga hujan turun tepat di atas area hotspot," jelas Dr. Siti Nurhaliza, Kepala Pusat Modifikasi Cuaca BMKG, dalam konferensi pers di Pekanbaru. Hasilnya? Dalam dua minggu terakhir, hotspot turun drastis hingga di bawah 50 titik, dan ribuan hektare lahan berhasil diselamatkan dari amukan api.
Cerita dari lapangan pun tak kalah dramatis. Di Desa Tanjung Leban, Kabupaten Bengkalis, petani Sawit seperti Pak Joko menceritakan bagaimana api nyaris melahap kebunnya. "Malam itu, asap tebal menyelimuti kampung, anak-anak batuk-batuk tak henti. Untung pasukan TNI datang dengan cepat, memadamkan api sebelum menyebar ke pemukiman," katanya dengan nada lega. Kisah seperti ini menjadi pengingat betapa karhutla tak hanya merusak lingkungan, tapi juga mengancam kesehatan dan mata pencaharian ribuan warga.
Meski demikian, jangan buru-buru bernapas lega. BMKG memprediksi kemarau akan berlanjut hingga Agustus, dengan suhu rata-rata mencapai 35 derajat Celsius dan kelembaban rendah. "Risiko karhutla masih tinggi, terutama di lahan gambut yang mudah terbakar. Kami butuh partisipasi masyarakat untuk tidak membakar lahan sembarangan," tambah Dr. Siti. Pemerintah daerah pun telah menyiapkan langkah preventif, seperti intensifikasi patroli dan edukasi komunitas, untuk mencegah kejadian serupa.
Karhutla di Riau bukan sekadar bencana alam; ini adalah ujian bagi kita semua untuk lebih peduli terhadap hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia. Dengan kolaborasi yang solid dan kesadaran kolektif, harapan untuk musim kemarau tanpa asap tebal masih terbuka lebar. Tetap waspada, Riau!
