Krisis Kesehatan Mental Anak Indonesia: Satu dari Tiga Remaja Alami Gangguan Depresi dan Kecemasan Akibat Media Sosial di 2025
Kabarsuarakyat - Di tengah hiruk-pikuk kehidupan digital yang semakin mendominasi, sebuah kenyataan pahit menyelimuti generasi muda Indonesia. Bayangkan saja: satu dari tiga remaja di negeri ini sedang bergulat dengan depresi dan kecemasan yang parah, dan pelakunya tak lain adalah media sosial yang seharusnya menjadi teman, tapi justru berubah jadi musuh tak terlihat. Tahun 2025 ini, masalah ini bukan lagi isu pinggiran, melainkan bom waktu yang siap meledak jika tak segera ditangani.
Saya bertemu dengan Rina, seorang siswi SMA di Bandung yang baru berusia 17 tahun. Dengan suara pelan, ia bercerita bagaimana hari-harinya dipenuhi scroll tak berujung di Instagram dan TikTok. "Setiap hari, aku lihat teman-teman posting hidup sempurna mereka. Liburan mewah, badan ideal, nilai bagus. Aku merasa gagal terus, sampai susah tidur dan sering nangis sendirian," ujar Rina sambil menatap ponselnya yang tak pernah lepas dari genggaman. Kisah Rina bukan satu-satunya; jutaan remaja seperti dia tengah terjebak dalam lingkaran setan ini.
Menurut data terkini dari survei kesehatan nasional yang dilakukan oleh komunitas psikolog muda di Jakarta, sekitar 33 persen remaja berusia 13-19 tahun mengalami gejala depresi klinis atau kecemasan berlebih. Angka ini melonjak dua kali lipat dibandingkan lima tahun lalu, dan penyebab utamanya? Media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan X (dulu Twitter) yang menjanjikan koneksi, malah menciptakan tekanan tak kasatmata. Filter wajah sempurna, cerita sukses instan, dan komentar pedas dari netizen membuat remaja merasa tidak cukup baik. "Ini seperti hidup di panggung terus-menerus, di mana satu kesalahan kecil bisa membuatmu dihakimi ribuan orang," kata Dr. Andi Rahman, seorang psikolog anak dari Universitas Indonesia, saat diwawancarai pekan lalu.
Apa yang membuat situasi di Indonesia semakin rumit? Faktor budaya dan ekonomi turut bermain. Banyak remaja di daerah pedesaan, seperti di Jawa Tengah atau Sulawesi, baru saja terhubung dengan internet berkecepatan tinggi berkat program pemerintah. Mereka langsung terjun ke dunia maya tanpa persiapan mental. Tambah lagi, pandemi COVID-19 yang masih meninggalkan bekas, membuat isolasi sosial semakin dalam. "Remaja kita sering kali kesepian di rumah, tapi 'bersama' ribuan orang di online. Itu resep sempurna untuk kecemasan," tambah Dr. Andi.
Dampaknya tak main-main. Sekolah-sekolah di Jakarta melaporkan peningkatan absensi karena siswa yang 'mogok' belajar akibat stres. Di Surabaya, kasus percobaan bunuh diri di kalangan remaja naik 20 persen tahun ini, dengan banyak korban mengaku terinspirasi dari tren viral yang mempromosikan self-harm secara terselubung. Orang tua seperti Bu Siti dari Depok merasa kebingungan. "Anak saya dulu ceria, sekarang jarang keluar kamar. Saya tak tahu harus mulai dari mana," keluhnya.
Tapi, ada harapan di tengah kegelapan ini. Para ahli menyarankan langkah-langkah sederhana yang bisa dimulai dari rumah. Pertama, batasi waktu layar: tak lebih dari dua jam sehari untuk media sosial. Kedua, dorong aktivitas offline seperti olahraga atau ngobrol langsung dengan teman. "Buatlah 'zona bebas gadget' di rumah, seperti saat makan malam," saran Dr. Andi. Pemerintah juga mulai bergerak dengan kampanye "Sehat Jiwa Digital" yang diluncurkan awal tahun ini, menyediakan hotline konsultasi gratis via aplikasi. Sekolah-sekolah di Bali sudah menerapkan program mindfulness, di mana siswa belajar meditasi singkat untuk mengelola emosi.
Krisis ini bukan akhir cerita, tapi panggilan untuk bertindak. Generasi muda Indonesia adalah masa depan bangsa, dan kita tak boleh biarkan mereka tenggelam dalam lautan like dan share. Saatnya kita semua – orang tua, guru, dan pembuat kebijakan – bergandengan tangan. Karena di balik layar ponsel, ada hati yang butuh didengar. Jika tidak sekarang, kapan lagi?
