Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun Penjara Kasus Impor Gula: Benarkah Ada Motif Politik di Balik Vonis Ini?
Kabarsuarakyat - Bayangkan saja: seorang mantan menteri yang dulu dipercaya mengurus perdagangan negara, kini harus mendekam di balik jeruji besi selama empat setengah tahun. Itulah nasib Thomas Trikasih Lembong, atau yang akrab disapa Tom Lembong, setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis pada 18 Juli lalu. Kasusnya? Dugaan korupsi dalam kebijakan impor gula kristal mentah pada era 2015-2016, saat dia menjabat Menteri Perdagangan di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tapi, vonis ini bukan cuma soal hukum biasa. Banyak yang curiga, ada aroma politik yang menyengat di baliknya, terutama di tengah transisi kekuasaan ke Presiden Prabowo Subianto. Apakah ini balas dendam lama, atau memang keadilan yang telanjang?
Mari kita mundur sedikit ke belakang. Saat itu, Indonesia lagi bergulat dengan masalah stok gula nasional. Harga melambung, pasokan kurang, dan pemerintah butuh solusi cepat. Tom Lembong, dengan latar belakangnya sebagai banker sukses dan mantan penasihat ekonomi, memutuskan untuk membuka keran impor gula sebanyak 400 ribu ton. Tujuannya sederhana: stabilkan harga dan pastikan rakyat nggak kelabakan cari gula buat teh manis sehari-hari. Kebijakan ini melibatkan perusahaan BUMN seperti PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan koperasi milik TNI-Polri. Tapi, jaksa menuduh, prosesnya cacat: ada penyalahgunaan wewenang yang bikin negara rugi ratusan miliar rupiah. Spesifiknya, impor dilakukan tanpa analisis matang soal kebutuhan riil, dan akhirnya gula impor malah banjiri pasar lokal, merusak harga petani tebu dalam negeri.
Dalam sidang yang berlangsung selama 23 kali itu, hakim ketua Rianto Dennie Arsan Fatrika akhirnya memutuskan: Tom bersalah. Hukumannya? Penjara 4 tahun 6 bulan, denda Rp750 juta, atau ganti kurungan tambahan 3 bulan kalau nggak bayar. Yang bikin geleng-geleng kepala, hakim sendiri mengakui Tom nggak dapat untung pribadi sepeser pun dari kasus ini. "Tidak ada aliran dana ke terdakwa," kata hakim. Tapi, mereka bilang, kerugian negara tetap ada: sekitar Rp194 miliar, dihitung dari selisih harga impor dan dampaknya ke ekonomi lokal. Hakim bahkan nyeletuk soal "kebijakan kapitalistik" yang diterapkan Tom, yang katanya memberatkan vonis. Lucu, kan? Seolah-olah impor gula jadi simbol perang ideologi.
Reaksi publik langsung meledak. Mantan Menko Polhukam Mahfud MD, yang dikenal vokal soal hukum, langsung bilang vonis ini "salah besar". "Mana niat jahatnya? Tom cuma jalankan perintah atasannya, Presiden Jokowi waktu itu," katanya dalam wawancara baru-baru ini. Mahfud soroti soal mens rea, atau unsur kesengajaan dalam pidana korupsi. Tanpa itu, katanya, ini lebih mirip maladministrasi biasa, bukan korupsi. Pakar hukum dari Universitas Airlangga dan UMY juga ikut angkat suara, bilang vonis ini bisa "mengguncang rasa keadilan publik". Mereka khawatir, ini bakal bikin orang-orang kompeten ogah masuk pemerintahan, takut dikriminalisasi gara-gara kebijakan yang sebenarnya demi rakyat.
Di dunia maya, terutama di X (dulu Twitter), perdebatan makin panas. Banyak netizen bilang ini "hukum politik" ala era baru. "Tom kan dulu deket sama Jokowi, sekarang Prabowo lagi pegang kendali. Apa ini cara bersih-bersih lawan?" tulis salah satu akun populer. Ada juga yang bela: "Korupsi ya korupsi, nggak peduli motifnya." Tapi, fakta bahwa Kejaksaan Agung langsung ajukan banding karena vonis dianggap terlalu ringan (mereka tuntut 7 tahun), dan Tom juga banding, bikin kasus ini kayak bola salju yang makin gede. Bahkan, mantan pimpinan KPK Saut Situmorang bilang vonis ini jadi "alarm" buat Prabowo: jangan sampai kebijakan ekonomi liberal dikriminalisasi, bisa hambat investasi asing.
Lalu, benarkah ada motif politik? Mari kita lihat konteksnya. Tom Lembong bukan orang sembarangan. Dia pernah jadi Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan dikenal sebagai pendukung ekonomi terbuka. Pasca Jokowi lengser, dia sempat kritis soal beberapa kebijakan pemerintahan baru. Apalagi, kasus ini muncul pasca transisi kekuasaan, mirip dengan isu-isu lain seperti kasus Hasto Kristiyanto dari PDIP yang juga lagi ramai. Banyak analis bilang, ini bisa jadi bagian dari "pembersihan" untuk konsolidasi kekuasaan. Tapi, di sisi lain, jaksa bilang ini murni hukum: ada audit BPKP yang bilang rugi negara, meski hakim akhirnya hitung ulang sendiri.
Yang jelas, kasus ini nggak cuma soal Tom. Ini soal bagaimana Indonesia menangani korupsi di level tinggi. Kalau kebijakan administratif bisa jadi pidana tanpa bukti untung pribadi, apa jadinya investor asing? Mereka bakal mikir dua kali masuk ke sini. Atau, ini justru sinyal kuat bahwa nggak ada yang kebal hukum, bahkan mantan menteri? Pembaca sekalian, ini saatnya kita awasi proses bandingnya. Apakah vonis berubah, atau malah tambah kontroversi? Yang pasti, cerita ini masih panjang, dan bisa bikin politik Indonesia makin "manis" tapi getir.
