Utusan AS Masuk Gaza di Tengah Tuduhan Kejahatan Perang: Puluhan Warga Palestina Tewas Saat Cari Bantuan Makanan
Kabarsuarakyat - Bayangkan situasi ini: ribuan orang kelaparan berdesak-desakan di sekitar truk bantuan makanan, berharap bisa dapat segenggam tepung atau sekaleng susu untuk keluarga mereka. Tapi tiba-tiba, suara tembakan bergema, dan puluhan nyawa melayang begitu saja. Itulah gambaran mengerikan yang terjadi di Gaza kemarin, tepat saat utusan khusus Amerika Serikat, Steve Witkoff, bersiap memasuki wilayah itu untuk memeriksa distribusi bantuan kemanusiaan.
Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola oleh Hamas, setidaknya 91 warga Palestina tewas dan lebih dari 600 lainnya terluka dalam 24 jam terakhir. Mereka bukan pejuang, tapi warga biasa – termasuk anak-anak dan perempuan – yang sedang antre makanan di sekitar pos bantuan. Saksi mata bilang, tembakan datang dari pasukan Israel yang mengklaim sedang mengamankan area dari ancaman. Tapi bagi banyak pihak, ini bukan lagi soal keamanan, melainkan tuduhan serius: kejahatan perang yang disengaja, termasuk kebijakan yang membuat rakyat Gaza kelaparan secara sistematis.
Steve Witkoff, yang ditunjuk oleh Presiden Donald Trump sebagai utusan khusus untuk Timur Tengah, tiba di Israel kemarin dan dijadwalkan masuk ke Gaza hari ini. Tujuannya sederhana tapi krusial: memantau langsung bagaimana bantuan makanan didistribusikan di tengah krisis kelaparan yang semakin parah. Gedung Putih bilang, Witkoff akan "menilai situasi di lapangan yang sangat buruk" dan mencari cara agar lebih banyak makanan bisa masuk ke Gaza. Ini datang setelah pertemuan produktifnya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, di mana mereka bahas dorongan gencatan senjata dan peningkatan bantuan.
Kenapa ini penting? Konflik di Gaza sudah berlarut-larut sejak Oktober 2023, dan sekarang, lebih dari 1.000 warga Palestina dilaporkan tewas hanya karena mencari makanan sejak Mei lalu. Kebanyakan insiden terjadi di dekat situs bantuan yang dikelola oleh kelompok kemanusiaan seperti Global Humanitarian Foundation (GHF). Israel bilang mereka akan bantu fasilitasi masuknya lebih banyak truk bantuan, tapi di lapangan, ceritanya beda. Blokade ketat membuat makanan langka, dan tuduhan "kebijakan kelaparan" dari kelompok hak asasi manusia seperti Human Rights Watch semakin kencang.
Saya ingat wawancara dengan seorang ibu di Gaza pekan lalu – namanya Umm Ahmed, warga Rafah yang kehilangan anaknya dalam insiden serupa. "Kami bukan binatang, kami manusia yang butuh makan," katanya sambil menangis. Cerita seperti ini bukan sekadar statistik; ini tentang nyawa yang hilang karena perang yang tak kunjung usai. Kunjungan Witkoff bisa jadi titik balik, tapi skeptis banyak. Apakah ini benar-benar akan bawa perubahan, atau cuma diplomasi kosong?
Sementara itu, Hamas menyerukan investigasi internasional atas "pembantaian" ini, dan Israel menyangkal tuduhan kejahatan perang, bilang tembakan ditujukan pada ancaman spesifik. Dunia internasional, termasuk PBB, mendesak agar bantuan mengalir bebas tanpa hambatan. Tapi di Gaza, bagi jutaan orang yang terjebak, harapan tipis: apakah utusan AS ini bisa hentikan siklus kematian demi secuil roti?
Kita tunggu perkembangan selanjutnya. Situasi ini mengingatkan kita semua: di balik headline politik, ada manusia biasa yang menderita. Mari kita terus pantau dan dukung upaya damai
