Drama Batal Demo: Massa Mundur dari Unjuk Rasa Tolak Kenaikan PBB 250% Bupati Pati pada 13 Agustus!
Kabarsuarakyat - Suasana di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang semestinya memanas karena rencana unjuk rasa besar-besaran, justru berubah menjadi hening dan damai kemarin. Ribuan warga yang awalnya siap turun ke jalan untuk menolak kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen oleh Bupati Pati, tiba-tiba membatalkan aksi mereka pada 13 Agustus. Apa yang sebenarnya terjadi di balik pembatalan mendadak ini? Mari kita kupas tuntas peristiwa yang penuh intrik ini, yang sempat membuat warga setempat dan pemerintah daerah bernapas lega.
Semuanya bermula dari kebijakan kontroversial yang diumumkan oleh Bupati Pati beberapa bulan lalu. Kebijakan itu bertujuan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui penyesuaian tarif PBB. Menurut rencana, kenaikan drastis hingga 250 persen akan diterapkan pada properti komersial dan lahan pertanian yang luas, dengan alasan untuk mendanai proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan dan irigasi. Namun, bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, khususnya petani dan pemilik rumah sederhana, kebijakan ini seperti mimpi buruk. "Bayangkan saja, pajak rumah saya yang biasanya cuma ratusan ribu, tiba-tiba melonjak jadi jutaan. Bagaimana kami bisa bertahan?" ujar seorang warga desa di Kecamatan Juwana, yang enggan disebut namanya, saat ditemui reporter kami pekan lalu.
Rencana unjuk rasa pun mulai bergulir sejak akhir Juli. Kelompok masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Tolak Kenaikan PBB (ARTKP) mengklaim telah mengumpulkan dukungan dari lebih dari 5.000 orang, termasuk petani, buruh, dan mahasiswa dari universitas lokal. Mereka merencanakan aksi damai di depan Kantor Bupati Pati pada 13 Agustus pukul 10 pagi. Poster-poster dan spanduk sudah disebar di media sosial, dengan slogan seperti "Tolak PBB 250%, Selamatkan Rakyat Pati!" yang viral di kalangan warga. Koordinator aksi, seorang aktivis lingkungan bernama Surya, sempat menyatakan dalam konferensi pers virtual bahwa demo ini akan menjadi suara rakyat yang tak bisa diabaikan. "Kami bukan mau rusuh, tapi kami mau dialog. Kebijakan ini harus ditinjau ulang sebelum merusak ekonomi masyarakat," katanya dengan tegas.
Namun, drama sesungguhnya terjadi pada malam sebelum hari H. Sekitar pukul 20.00 WIB pada 12 Agustus, pimpinan ARTKP tiba-tiba mengeluarkan pernyataan resmi melalui grup WhatsApp dan akun Instagram mereka. "Dengan berat hati, kami batalkan unjuk rasa besok. Ini demi menjaga kondusivitas dan menghindari provokasi dari pihak luar," bunyi pesan itu. Apa penyebabnya? Berdasarkan informasi yang berhasil kami himpun dari sumber internal aliansi, ada beberapa faktor yang memicu pembatalan ini.
Pertama, tekanan dari aparat keamanan. Polres Pati dikabarkan telah menggelar rapat koordinasi dengan pemimpin demo sejak dua hari sebelumnya. Mereka meminta agar aksi ditunda karena khawatir terjadi bentrokan, mengingat cuaca buruk yang diprediksi akan hujan deras dan potensi infiltrasi kelompok provokator. "Kami tak mau ambil risiko. Keamanan warga lebih utama," kata seorang perwira polisi yang tak ingin disebut identitasnya.
Kedua, negosiasi mendadak dengan pihak bupati. Ternyata, pada sore 12 Agustus, delegasi ARTKP diundang ke pendopo bupati untuk berdiskusi. Bupati Pati, yang selama ini bungkam soal protes, akhirnya menyampaikan komitmen untuk merevisi kebijakan. "Kami akan bentuk tim khusus untuk mengevaluasi kenaikan PBB. Mungkin tidak 250 persen lagi, tapi disesuaikan dengan kemampuan masyarakat," janji bupati dalam pertemuan itu, menurut catatan salah satu peserta. Janji ini menjadi angin segar bagi massa, meski masih ada yang skeptis apakah ini hanya taktik untuk meredam gejolak.
Ketiga, faktor internal massa sendiri. Beberapa anggota aliansi mengaku lelah setelah persiapan panjang, ditambah isu pandemi yang masih menghantui. "Banyak yang khawatir kalau demo berlangsung, malah jadi klaster baru penyakit. Lagipula, kami sudah capek demo-demoan tanpa hasil," cerita seorang ibu rumah tangga yang ikut dalam gerakan ini.
Pembatalan ini tak luput dari reaksi beragam. Di satu sisi, warga yang pro-kebijakan merasa lega. Seorang pengusaha properti di Pati mengatakan, "Baguslah dibatalkan. Kenaikan PBB perlu untuk pembangunan, tapi kalau demo, bisnis bisa terganggu." Di sisi lain, kelompok oposisi menilai ini sebagai kemunduran. "Ini bukti massa mudah dibujuk. Kami harus tetap waspada agar janji bupati tak cuma angin lalu," kata seorang aktivis hak asasi manusia dari LSM setempat.
Meski demo batal, isu kenaikan PBB tetap menjadi sorotan. Pemerintah daerah kini dihadapkan pada tantangan untuk membuktikan komitmen mereka. Apakah revisi kebijakan akan benar-benar terealisasi? Atau ini hanya jeda sementara sebelum gelombang protes baru muncul? Warga Pati berharap agar suara mereka didengar tanpa harus turun ke jalan lagi.
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa demokrasi tak selalu soal aksi massa, tapi juga dialog dan kompromi. Di tengah ekonomi yang masih rapuh pasca-pandemi, kebijakan seperti ini harus dirancang dengan hati-hati agar tak membebani rakyat kecil. Kami akan terus pantau perkembangan selanjutnya. Tetap ikuti berita terkini dari kami untuk update lebih lanjut!
