Gaza City Digempur, Hamas Setuju Gencatan Senjata 60 Hari, Israel Belum Merespons
Peristiwa ini bermula dari eskalasi konflik yang telah berlangsung selama berminggu-minggu. Gaza City, pusat administrasi dan kehidupan sehari-hari bagi jutaan warga Palestina, menjadi sasaran utama operasi militer yang digambarkan sebagai upaya pembalasan atas serangan roket sebelumnya. Saksi mata di lapangan melaporkan bahwa serangan udara dan artileri telah menghancurkan sejumlah infrastruktur vital, termasuk rumah sakit, sekolah, dan pasar tradisional. "Kami mendengar dentuman bom sepanjang malam, dan pagi ini, jalan-jalan dipenuhi puing-puing. Anak-anak kami ketakutan, tapi kami tak punya tempat untuk lari," ujar seorang warga setempat yang enggan disebut namanya, mencerminkan keputusasaan yang melanda penduduk sipil.
Di balik kekacauan ini, Hamas, yang menguasai Jalur Gaza sejak 2007, membuat langkah diplomatik yang tak terduga. Melalui pernyataan resmi yang disiarkan melalui saluran media mereka, juru bicara Hamas menyatakan bahwa kelompok tersebut siap menghentikan segala bentuk permusuhan selama dua bulan penuh. "Kami setuju dengan gencatan senjata 60 hari sebagai bentuk komitmen kami terhadap perdamaian yang adil. Ini adalah kesempatan bagi dunia internasional untuk campur tangan dan memastikan hak-hak rakyat Palestina terpenuhi," kata juru bicara tersebut dalam konferensi pers virtual yang diikuti oleh wartawan dari berbagai negara.
Penawaran gencatan senjata ini bukan tanpa syarat. Hamas menekankan bahwa kesepakatan harus mencakup penghentian total serangan Israel, pembukaan blokade perbatasan, dan aliran bantuan kemanusiaan yang tak terhambat ke Gaza. Mereka juga menyerukan agar komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara Arab tetangga, bertindak sebagai penjamin. Langkah ini dipandang sebagai upaya Hamas untuk meredam kritik global atas dampak kemanusiaan konflik, di mana ribuan warga sipil telah menjadi korban, baik luka maupun tewas.
Sementara itu, respons dari Israel masih menjadi tanda tanya besar. Pemerintah Israel, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri, belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait tawaran tersebut. Beberapa pejabat militer Israel yang berbicara secara anonim menyebutkan bahwa operasi di Gaza City masih diperlukan untuk menjamin keamanan nasional mereka. "Kami tidak akan berhenti sebelum ancaman benar-benar hilang," kata salah seorang sumber di Kementerian Pertahanan Israel. Namun, absennya respons resmi ini memicu spekulasi bahwa Israel sedang mempertimbangkan opsi diplomatik di balik layar, mungkin melalui perantara seperti Mesir atau Qatar, yang sering berperan sebagai mediator dalam konflik serupa.
Latar belakang konflik ini tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang ketegangan antara Israel dan Palestina. Gaza City, dengan populasi lebih dari dua juta jiwa yang hidup dalam kondisi blokade ketat, sering menjadi simbol perlawanan dan penderitaan. Serangan terkini ini dipicu oleh insiden perbatasan yang melibatkan roket dari Gaza ke wilayah Israel, yang kemudian dibalas dengan operasi militer skala besar. Menurut data dari lembaga kemanusiaan independen, korban sipil di kedua belah pihak terus bertambah, dengan Gaza mengalami kerusakan infrastruktur yang paling parah. Rumah-rumah hancur, pasokan air dan listrik terputus, dan akses medis menjadi mimpi buruk bagi para korban.
Dampak dari situasi ini tak hanya terbatas pada wilayah konflik. Gelombang pengungsi mulai membanjiri perbatasan, sementara protes solidaritas meletus di berbagai kota dunia, dari London hingga Jakarta. Organisasi hak asasi manusia mendesak agar gencatan senjata segera direalisasikan untuk mencegah krisis kemanusiaan yang lebih dalam. "Ini bukan lagi soal politik, tapi nyawa manusia. Gencatan senjata 60 hari bisa menjadi jendela untuk dialog yang lebih luas," kata seorang analis konflik Timur Tengah.
Pertanyaan kini bergantung pada Israel: apakah mereka akan menerima tawaran ini sebagai langkah menuju de-eskalasi, atau justru melanjutkan operasi yang bisa memperpanjang penderitaan? Sementara dunia menunggu, warga Gaza City terus bertahan di tengah kepungan, berharap bahwa suara damai akan lebih keras daripada dentuman bom. Situasi ini mengingatkan kita semua bahwa perdamaian bukanlah mimpi, tapi pilihan yang harus diambil dengan keberanian.
