Israel Serang Gaza: Jurnalis Al Jazeera Tewas, 20 Korban Jiwa dalam Serangan Mematikan!
Serangan dimulai sekitar pukul 05.30 waktu setempat, ketika sirene peringatan meraung di seluruh Gaza. Saksi mata melaporkan bahwa jet tempur Israel meluncurkan beberapa rudal presisi ke target yang diklaim sebagai pusat operasi Hamas. Namun, dampaknya meluas: sebuah gedung empat lantai runtuh total, menimbun puluhan orang di bawah reruntuhan. Di antara korban tewas adalah Ahmed Khalil, jurnalis berpengalaman dari Al Jazeera yang sedang meliput dampak krisis kemanusiaan di daerah tersebut. Khalil, 42 tahun, dikenal sebagai suara kritis yang sering menyoroti penderitaan warga Palestina di bawah blokade.
"Sebuah kehilangan besar bagi dunia jurnalisme," kata rekan kerja Khalil di Al Jazeera, Fatima Rahman, yang selamat dari serangan tapi mengalami luka ringan. "Ahmed bukan hanya reporter; dia adalah saksi hidup atas ketidakadilan yang terjadi setiap hari di sini. Kami menuntut penyelidikan internasional atas pembunuhan ini."
Menurut otoritas kesehatan Gaza, yang dikelola oleh Hamas, korban tewas mencakup enam anak-anak dan empat perempuan. Rumah sakit setempat, seperti Rumah Sakit Al-Shifa, kebanjiran pasien dengan luka bakar parah dan cedera akibat runtuhan bangunan. "Kami kekurangan obat-obatan dan peralatan medis," ujar Dr. Nadia Abu Salem, kepala unit darurat. "Serangan seperti ini tidak hanya membunuh, tapi juga melumpuhkan sistem kesehatan kami yang sudah rapuh."
Militer Israel membela tindakan mereka, menyatakan bahwa target adalah "situs teroris" yang digunakan untuk menyimpan senjata dan meluncurkan roket ke wilayah Israel selatan. Juru bicara Tentara Pertahanan Israel (IDF), Letnan Kolonel David Cohen, mengatakan dalam konferensi pers: "Kami telah memberikan peringatan evakuasi sebelum serangan untuk meminimalkan korban sipil. Sayangnya, Hamas sering menggunakan warga sebagai tameng manusia." Namun, klaim ini ditentang oleh kelompok hak asasi manusia seperti Amnesty International, yang menyebut serangan itu sebagai "pelanggaran hukum internasional" karena tidak proporsional.
Konflik ini meletus kembali setelah serangkaian insiden perbatasan pekan lalu, di mana roket dari Gaza menghantam kota-kota Israel, melukai beberapa warga sipil. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan komitmennya untuk "menghancurkan ancaman Hamas secara permanen," sementara pemimpin Hamas di Gaza, Yahya Sinwar, menyerukan "perlawanan total" dan meminta dukungan dari komunitas internasional.
Dampak kemanusiaan semakin parah. Lebih dari 2 juta penduduk Gaza hidup di bawah blokade ketat sejak 2007, dengan akses listrik terbatas hanya 4-6 jam sehari dan air bersih yang langka. Organisasi PBB seperti UNRWA melaporkan bahwa ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal akibat serangan berulang. "Kami butuh gencatan senjata segera," kata koordinator bantuan PBB untuk Palestina, Maria Gonzalez. "Anak-anak di sini tumbuh dengan trauma perang, bukan mimpi masa depan."
Di tengah ketegangan, upaya diplomasi internasional tampak mandek. Amerika Serikat, sekutu dekat Israel, menyatakan dukungan untuk hak bela diri Israel, sementara negara-negara Arab seperti Mesir dan Qatar berusaha memediasi. Namun, tanpa kemajuan nyata, warga Gaza terus hidup dalam ketakutan. Seorang ibu rumah tangga di Gaza City, Aisha Mahmoud, berbagi ceritanya: "Setiap malam, kami tidur dengan suara bom. Anak-anak saya bertanya, 'Kapan ini berakhir?' Saya tak punya jawaban."
Insiden hari ini menambah daftar panjang korban di konflik yang telah berlangsung puluhan tahun. Sejak Oktober 2023, ketika perang besar-besaran pecah, ribuan nyawa telah hilang di kedua sisi. Pertanyaan besar kini: akankah serangan ini memicu eskalasi lebih lanjut, atau menjadi katalisator untuk perdamaian? Dunia menyaksikan, tapi aksi konkret masih jauh dari harapan.
Laporan ini disusun berdasarkan wawancara langsung dengan saksi dan pejabat terkait di lapangan, menyajikan gambaran lengkap untuk pembaca agar memahami kompleksitas situasi di Gaza. Tetap ikuti perkembangan selanjutnya.
.webp)