Gen Z di Ujung Tanduk: Mengapa Kesehatan Mental Generasi Muda Semakin Terancam dan Bagaimana Menyelamatkannya?
Kabarsuarakyat - Bayangkan sebuah generasi yang lahir di era digital, di mana segala sesuatu bergerak cepat seperti scroll tak berujung di layar ponsel. Generasi Z, atau yang sering disebut Gen Z – mereka yang lahir antara 1997 hingga 2012 – kini berdiri di persimpangan berbahaya. Di satu sisi, mereka adalah pionir inovasi, pembuat tren, dan pejuang perubahan sosial. Tapi di sisi lain, kesehatan mental mereka sedang digerogoti oleh badai yang tak terlihat: kecemasan, depresi, dan rasa putus asa yang semakin memburuk. Apa yang membuat generasi ini seperti berada di ujung tanduk? Dan, yang lebih penting, bagaimana kita bisa menarik mereka kembali ke daratan aman?
Saya ingat bertemu dengan Rina, seorang mahasiswi berusia 22 tahun di salah satu kampus di Bandung. Dengan senyum tipis yang menyembunyikan kegelisahan, dia bercerita, "Setiap hari saya bangun dengan notifikasi ponsel yang membanjiri. Teman-teman posting kehidupan sempurna mereka di Instagram, sementara saya berjuang untuk bayar SPP sambil kerja paruh waktu. Rasanya seperti gagal terus-menerus." Kisah Rina bukanlah cerita tunggal; ini adalah gambaran luas dari jutaan anak muda di Indonesia dan seluruh dunia yang merasakan tekanan tak tertahankan.
Menurut data dari survei internal yang dilakukan oleh komunitas kesehatan jiwa lokal, hampir 60% Gen Z di Indonesia mengaku mengalami gejala kecemasan ringan hingga berat dalam setahun terakhir. Angka ini melonjak dibandingkan dekade sebelumnya, ketika generasi milenial masih lebih fokus pada stabilitas karir. Apa penyebabnya? Mari kita bedah satu per satu, agar kita bisa memahami akar masalahnya dengan jelas.
Pertama, era media sosial yang seperti pedang bermata dua. Gen Z tumbuh bersama TikTok, Instagram, dan Twitter – platform yang menjanjikan koneksi, tapi justru sering menimbulkan perbandingan sosial yang destruktif. "Filter-filter itu membuat semua orang tampak sempurna," kata dr. Andi, seorang psikolog klinis yang telah menangani ratusan pasien muda. "Anak-anak ini melihat hidup orang lain seperti highlight reel, sementara mereka sendiri merasa tidak cukup. Hasilnya? Rasa rendah diri yang menumpuk, leading to anxiety dan bahkan isolasi."
Bayangkan saja: seorang remaja berusia 18 tahun membuka aplikasi pagi-pagi buta, melihat teman sebayanya traveling ke Bali atau lulus dengan IPK sempurna. Sementara dia sendiri berjuang dengan ujian online di tengah koneksi internet yang lemot. Ini bukan sekadar FOMO (fear of missing out); ini adalah bom waktu yang meledak menjadi masalah kesehatan mental. Studi informal dari kelompok dukungan online menunjukkan bahwa penggunaan media sosial lebih dari 3 jam sehari meningkatkan risiko depresi hingga 30% di kalangan Gen Z.
Kedua, pandemi COVID-19 yang seperti tsunami tak terduga. Meski sudah berlalu, bekasnya masih terasa. Gen Z adalah generasi yang kehilangan momen-momen krusial: kelulusan sekolah tanpa pesta, kuliah pertama via Zoom, dan pekerjaan pertama di tengah ketidakpastian ekonomi. "Saya lulus SMA tahun 2020, tapi tak ada upacara. Langsung masuk dunia kerja yang penuh PHK," cerita Budi, seorang fresh graduate yang kini bekerja sebagai freelancer di Jakarta. Pandemi tidak hanya mencuri waktu mereka, tapi juga rasa aman. Isolasi sosial selama lockdown memperburuk masalah, dengan peningkatan kasus depresi yang dilaporkan oleh rumah sakit jiwa nasional mencapai 40%.
Tambahkan lagi tekanan ekonomi yang semakin menekan. Inflasi, biaya hidup yang naik, dan lapangan kerja yang kompetitif membuat Gen Z merasa seperti berlari di treadmill tanpa henti. Di Indonesia, di mana angkatan kerja muda mencapai jutaan, banyak yang terjebak dalam gig economy – pekerjaan sementara tanpa jaminan pensiun atau kesehatan. "Saya kerja 12 jam sehari sebagai driver online, tapi gaji tak cukup untuk sewa kos," keluh seorang pemuda di Surabaya yang saya wawancarai. Tekanan ini sering berujung pada burnout, di mana tubuh dan pikiran kelelahan total.
Lalu, ada faktor lingkungan yang sering diabaikan: perubahan iklim dan isu global. Gen Z adalah generasi yang sadar lingkungan, tapi justru itu yang membuat mereka cemas. Banjir di Jakarta, kekeringan di Jawa Timur, atau berita tentang pemanasan global membuat mereka merasa masa depan suram. "Kami tahu kami harus bertindak, tapi rasanya tak ada yang mendengar," kata aktivis muda dari komunitas lingkungan di Yogyakarta. Eco-anxiety, atau kecemasan karena perubahan iklim, menjadi tren baru yang membebani pikiran mereka.
Tapi, tunggu dulu – ini bukan akhir cerita. Di tengah kegelapan, ada cahaya harapan. Kesehatan mental Gen Z bisa diselamatkan, asal kita bertindak sekarang. Bagaimana caranya? Mari kita bahas solusi-solusi praktis yang bisa diterapkan, mulai dari level pribadi hingga masyarakat.
Pertama, edukasi dan kesadaran. Sekolah dan kampus harus memasukkan mata pelajaran kesehatan mental ke dalam kurikulum. Bayangkan jika setiap siswa SMA belajar tentang mindfulness atau cara mengelola stres sejak dini. Di beberapa negara seperti Australia, program seperti ini telah mengurangi angka bunuh diri remaja hingga 20%. Di Indonesia, inisiatif seperti kampanye "Mental Health Awareness" oleh organisasi non-pemerintah bisa diperluas, dengan workshop gratis di komunitas.
Kedua, dukungan dari keluarga dan teman. Orang tua sering kali tidak paham bahasa Gen Z – mereka bicara tentang "vibes" dan "trigger", sementara orang tua fokus pada nilai rapor. "Cobalah dengarkan tanpa menghakimi," saran dr. Andi. Mulai dari obrolan sederhana di meja makan: "Bagaimana hari ini? Apa yang membuatmu cemas?" Ini bisa membuka pintu untuk bantuan profesional jika diperlukan.
Ketiga, teknologi yang bijak. Alih-alih menjadi musuh, media sosial bisa jadi alat penyelamat. Aplikasi seperti Calm atau Headspace menawarkan meditasi guided yang mudah diakses. Gen Z bisa mengatur "digital detox" – batasi waktu layar menjadi 2 jam sehari, dan ganti dengan aktivitas offline seperti olahraga atau baca buku. "Saya mulai jogging setiap pagi, dan itu mengubah hidup saya," cerita Rina, yang kini lebih tenang.
Keempat, akses layanan kesehatan mental yang terjangkau. Di Indonesia, masih ada stigma bahwa pergi ke psikolog berarti "gila". Pemerintah bisa memperbanyak puskesmas dengan konselor gratis, atau subsidi biaya terapi. Beberapa startup lokal sudah mulai menawarkan konsultasi online dengan harga di bawah Rp100.000 per sesi. "Ini langkah maju, tapi butuh dukungan lebih besar," kata seorang advokat kesehatan jiwa.
Terakhir, komunitas dan solidaritas. Gen Z kuat karena mereka saling terhubung. Grup dukungan online, seperti forum di Reddit atau komunitas di Discord, bisa menjadi tempat berbagi cerita. Di dunia nyata, acara seperti "Mental Health Walk" – jalan santai sambil diskusi – bisa membangun rasa kebersamaan. "Ketika saya tahu saya tidak sendirian, beban terasa lebih ringan," ujar Budi.
Pada akhirnya, Gen Z bukanlah generasi yang rapuh; mereka adalah generasi yang resilien, tapi butuh bantuan untuk bangkit. Jika kita – sebagai masyarakat, keluarga, dan pemerintah – tidak bertindak, kita akan kehilangan potensi besar mereka. Tapi jika kita menyediakan alat dan dukungan, mereka bisa menjadi pemimpin masa depan yang sehat dan bahagia. Jadi, mari kita mulai hari ini: periksa kesehatan mental diri sendiri, dukung orang terdekat, dan advokasi perubahan. Karena ujung tanduk itu bukan akhir, tapi awal dari perjuangan yang lebih baik
.webp)