Geger! Menteri Israel Usul Anekasi Gaza Bertahap Jika Hamas Tak Serahkan Senjata, Hamas Sebut 'Panggilan Pemusnahan'
Usulan Ben-Gvir ini muncul di tengah eskalasi kekerasan yang telah berlangsung sejak awal tahun ini, di mana serangan roket sporadis dari Gaza dan operasi militer Israel menjadi rutinitas yang melelahkan bagi kedua belah pihak. Menurut Ben-Gvir, aneksasi bertahap akan dimulai dari wilayah perbatasan utara Gaza, termasuk area Beit Hanoun dan sekitarnya, jika Hamas tidak mematuhi ultimatum penyerahan senjata dalam waktu 30 hari ke depan. "Ini bukan ancaman, tapi langkah preventif untuk menjamin keamanan warga Israel," ujar Ben-Gvir dalam pidatonya yang disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi nasional Israel. Ia menambahkan bahwa rencana ini telah didiskusikan secara internal di kabinet Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, meskipun belum ada konfirmasi resmi dari pemerintah pusat.
Langkah ini segera menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, baik di dalam negeri maupun internasional. Di Israel sendiri, oposisi dari partai-partai kiri seperti Meretz menyebut usulan tersebut sebagai "provokasi yang berbahaya" yang bisa memicu perang habis-habisan. Sementara itu, dari sisi Palestina, respons datang cepat dan tegas. Ismail Haniyeh, pemimpin politik Hamas yang berbasis di Qatar, melalui pernyataan resminya menyatakan bahwa proposal aneksasi ini bukanlah sekadar politik, melainkan "seruan untuk pemusnahan massal terhadap rakyat Gaza." Haniyeh menekankan bahwa Hamas tidak akan pernah menyerahkan senjata mereka, yang ia sebut sebagai "alat pertahanan terakhir" melawan pendudukan Israel. "Ini adalah upaya sistematis untuk menghapus identitas Palestina dari peta dunia," tambahnya, sambil menyerukan solidaritas dari negara-negara Arab dan komunitas internasional.
Untuk memahami konteks lebih dalam, mari kita telusuri latar belakang konflik ini. Gaza, wilayah sempit yang dihuni lebih dari dua juta jiwa, telah berada di bawah blokade Israel sejak Hamas mengambil alih kekuasaan pada 2007. Blokade ini membatasi akses barang, obat-obatan, dan bahan bakar, yang sering kali memicu krisis kemanusiaan. Pada 2023, serangan besar-besaran Hamas ke wilayah Israel selatan memicu perang yang menewaskan ribuan orang dari kedua pihak, dan sejak itu, upaya gencatan senjata berulang kali gagal. Usulan aneksasi Ben-Gvir ini bisa dilihat sebagai ekstensi dari kebijakan pemukiman Israel di Tepi Barat, di mana ribuan hektar tanah Palestina telah diambil alih untuk perluasan pemukiman Yahudi. Namun, berbeda dengan Tepi Barat, Gaza memiliki dinamika yang lebih rumit karena statusnya sebagai enklave yang terpisah secara geografis.
Dampak potensial dari usulan ini sangat luas. Jika diterapkan, aneksasi bertahap bisa berarti relokasi paksa ribuan warga Gaza, pembangunan tembok perbatasan baru, dan integrasi wilayah tersebut ke dalam administrasi Israel. Para analis militer memperkirakan bahwa hal ini akan memicu gelombang protes massal, kemungkinan intifada baru, dan bahkan intervensi dari kelompok-kelompok bersenjata lain seperti Hizbullah di Lebanon. Di sisi ekonomi, Gaza yang sudah porak-poranda akibat perang berkepanjangan akan semakin terpuruk, dengan tingkat pengangguran yang mencapai 50 persen dan ketergantungan pada bantuan internasional yang semakin tipis.
Reaksi internasional pun mulai bergaung. Amerika Serikat, sekutu utama Israel, melalui juru bicara Departemen Luar Negeri menyatakan keprihatinan atas "langkah-langkah yang bisa memperburuk situasi." Meskipun demikian, Washington belum mengeluarkan kecaman resmi, mengingat dukungan militer mereka terhadap Israel tetap kuat. Di sisi lain, Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak dialog segera, dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan "penghentian segala bentuk provokasi" untuk menghindari bencana kemanusiaan. Negara-negara Arab seperti Mesir dan Yordania, yang memiliki perjanjian damai dengan Israel, juga menyuarakan kekhawatiran, dengan Kairo menawarkan diri sebagai mediator untuk pembicaraan darurat.
Di tengah hiruk-pikuk ini, suara rakyat biasa sering kali terlupakan. Warga Gaza seperti Ahmed, seorang nelayan berusia 45 tahun yang kami wawancarai melalui sambungan telepon, mengungkapkan keputusasaannya. "Kami sudah lelah dengan perang ini. Aneksasi berarti kami kehilangan rumah, tanah, dan harapan. Bagaimana kami bisa menyerahkan senjata jika itu satu-satunya yang melindungi kami?" ceritanya. Sementara itu, di Tel Aviv, seorang aktivis perdamaian Israel bernama Miriam berpendapat bahwa usulan seperti ini justru melemahkan posisi Israel di mata dunia. "Kita butuh solusi dua negara, bukan aneksasi yang akan membuat kita terisolasi," katanya.
Situasi ini mengingatkan kita pada betapa rapuhnya perdamaian di Timur Tengah. Dengan usulan aneksasi ini, pintu dialog tampak semakin tertutup, sementara risiko konflik baru mengintai. Apakah ini akan menjadi titik balik menuju perundingan serius, atau justru pemicu ledakan besar? Hanya waktu yang akan menjawab, tapi satu hal pasti: rakyat di kedua sisi perbatasan terus menanggung beban berat dari ketegangan yang tak ada habisnya. Pantau terus perkembangan terbaru dari kami untuk update selanjutnya.
