Film Animasi 'Merah Putih: One For All' Viral dan Tuai Kritik Netizen Jelang Tayang 14 Agustus
Kabarsuarakyat - Di tengah hiruk-pikuk persiapan Hari Kemerdekaan, sebuah film animasi lokal berjudul Merah Putih: One For All tiba-tiba menjadi perbincangan hangat di media sosial. Film yang dijadwalkan tayang perdana pada 14 Agustus mendatang ini awalnya diharapkan menjadi sajian patriotik yang menyegarkan untuk keluarga Indonesia. Namun, alih-alih mendapat sambutan meriah, karya ini justru menuai kritik pedas dari netizen, yang menyebabkan gelombang perdebatan sengit di berbagai platform online.
Semuanya bermula dari trailer resmi yang dirilis dua minggu lalu oleh studio produksi independen asal Bandung, Garuda Animasi. Trailer berdurasi dua menit itu menampilkan petualangan sekelompok anak muda yang bersatu melawan ancaman misterius terhadap tanah air, dengan elemen-elemen simbolik seperti Bendera Merah Putih dan semangat gotong royong. Visual animasinya yang colorful dan dinamis langsung menarik perhatian, terutama di TikTok dan Instagram, di mana tagar #MerahPutihOneForAll meledak hingga mencapai jutaan views dalam semalam. Banyak warganet yang memuji keberanian tim produksi dalam menghadirkan cerita nasionalis melalui format animasi, yang selama ini lebih didominasi oleh produksi luar negeri seperti Disney atau Pixar.
"Saya excited banget! Akhirnya ada film animasi Indonesia yang nggak kalah keren dari luar," tulis seorang pengguna Twitter dengan handle @PatriotMudaID, yang postingannya di-retweet ribuan kali. Respons positif ini datang dari kalangan milenial dan Gen Z, yang melihat film ini sebagai upaya segar untuk membangkitkan rasa cinta tanah air di era digital. Bahkan, beberapa influencer parenting mempromosikannya sebagai tontonan edukatif untuk anak-anak, mengingat tema persatuan yang diusungnya selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
Tapi, di balik euforia itu, gelombang kritik mulai bergulir. Netizen mulai menyoroti berbagai aspek yang dianggap problematis. Yang paling menonjol adalah tudingan bahwa narasi film terlalu sederhana dan klise, seolah-olah hanya mengulang slogan-slogan patriotik tanpa kedalaman cerita. "Ini kayak propaganda murahan, ceritanya predictable banget. Animasi oke, tapi plotnya kayak iklan pemerintah," komentar seorang netizen di Reddit, yang memicu thread panjang dengan ratusan balasan setuju.
Kritik lain datang dari segi representasi. Beberapa warganet menilai karakter-karakter dalam trailer kurang beragam, dengan dominasi tokoh dari pulau Jawa dan minimnya elemen budaya dari daerah lain seperti Papua atau Sulawesi. "Indonesia itu luas, tapi film ini kayaknya cuma ngomongin 'satu untuk semua' tanpa nunjukin keberagaman sesungguhnya," ungkap aktivis sosial media @DiversityID, yang postingannya viral di LinkedIn. Isu ini semakin memanas ketika muncul spekulasi bahwa film ini mendapat dukungan dana dari pemerintah, meskipun pihak produksi belum memberikan konfirmasi resmi.
Tak berhenti di situ, aspek teknis juga menjadi sasaran. Meski animasinya dipuji, beberapa kritikus amatir menyoroti kualitas suara dan dubbing yang dianggap kurang halus, terutama dalam adegan aksi yang intens. "Suara karakternya kayak robot, nggak natural. Padahal ini film animasi, harusnya lebih immersive," keluh seorang reviewer di YouTube, yang videonya telah ditonton puluhan ribu kali. Kritik ini membuat sebagian netizen membandingkannya dengan film animasi lokal sukses sebelumnya seperti Si Juki atau Nussa, yang dianggap lebih autentik dalam menyampaikan pesan.
Di tengah kontroversi ini, sutradara film, Andi Rahman, angkat bicara melalui konferensi pers virtual kemarin. "Kami menghargai semua masukan dari masyarakat. Film ini lahir dari semangat untuk menyatukan generasi muda, tapi kami sadar tidak ada karya yang sempurna," katanya dengan nada tenang. Andi menjelaskan bahwa Merah Putih: One For All terinspirasi dari kisah-kisah nyata perjuangan pemuda di masa lalu, dikemas ulang dengan teknologi animasi 3D modern untuk menarik penonton muda. Ia juga menjanjikan bahwa versi final film akan menyertakan elemen kejutan yang lebih inklusif, termasuk subplot tentang keragaman budaya Nusantara.
Produser eksekutif, Lina Sari, menambahkan bahwa tim telah bekerja keras selama dua tahun dengan anggaran terbatas, melibatkan animator muda dari berbagai daerah. "Kami ingin film ini menjadi katalisator diskusi positif tentang nasionalisme. Kritik netizen justru memotivasi kami untuk terus berkembang," ujarnya. Meski begitu, Lina tidak menyangkal bahwa viralnya film ini telah meningkatkan antusiasme penonton potensial, dengan tiket presale di bioskop-bioskop besar seperti CGV dan XXI mulai laku keras.
Kontroversi ini sebenarnya bukan hal baru di dunia perfilman Indonesia. Ingat saja film-film bertema nasionalis sebelumnya seperti Merah Putih (2009) yang juga sempat menuai perdebatan soal akurasi sejarah. Namun, di era media sosial saat ini, suara netizen menjadi lebih kuat, mampu memengaruhi persepsi publik bahkan sebelum film tayang. Para pengamat industri hiburan menilai bahwa fenomena ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi sineas lokal: pentingnya mendengarkan audiens sejak dini untuk menghindari backlash yang lebih besar.
Bagi para calon penonton, Merah Putih: One For All tetap menjanjikan petualangan seru dengan pesan moral yang relevan di tengah tantangan bangsa saat ini, seperti isu disintegrasi dan polarisasi sosial. Apakah film ini akan sukses besar atau justru tenggelam dalam kritik? Jawabannya baru akan terungkap pada 14 Agustus nanti, saat layar lebar mulai memutar cerita persatuan yang diharapkan bisa menyatukan hati masyarakat Indonesia.
Tetap ikuti perkembangan terbaru seputar film ini, dan siapkan diri untuk menilai sendiri apakah Merah Putih: One For All layak menjadi ikon baru animasi Tanah Air.
.webp)