Puan Maharani Bantah Keras! Gaji DPR Tak Naik Rp100 Juta, Hanya 'Uang Pengganti' Rumah Dinas yang Bikin Heboh
Namun, Ketua DPR RI, Puan Maharani, tak tinggal diam. Dengan tegas dan lugas, ia membantah keras rumor tersebut, menegaskan bahwa tidak ada kenaikan gaji pokok bagi para anggota dewan. "Ini bukan soal naik gaji, tapi hanya penggantian fasilitas yang selama ini ada," ujar Puan saat ditemui wartawan di sela-sela acara penurunan bendera Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, pada Minggu sore, 17 Agustus 2025. Pernyataan ini seperti hembusan angin segar bagi publik yang sudah mulai gerah dengan narasi-narasi miring yang beredar luas.
Mari kita kupas tuntas apa yang sebenarnya terjadi, agar pembaca bisa memahami isu ini dengan lebih jelas dan tidak terjebak dalam informasi yang setengah-setengah. Semuanya bermula dari sebuah postingan viral di platform media sosial yang mengklaim bahwa anggota DPR akan mendapat tambahan penghasilan fantastis mulai tahun 2025. Gambar infografis sederhana yang beredar menunjukkan perhitungan sederhana: Rp3 juta per hari dikalikan 30 hari menjadi Rp90 juta hingga Rp100 juta per bulan. Tak heran jika hal ini langsung menyulut amarah netizen, terutama di tengah tuntutan masyarakat akan transparansi dan keadilan dalam pengelolaan anggaran negara.
Puan Maharani, yang dikenal sebagai sosok yang jarang muncul di sorotan media tapi selalu tegas dalam menyikapi isu sensitif, langsung memberikan klarifikasi. Menurutnya, apa yang disebut sebagai "kenaikan gaji" itu sebenarnya hanyalah kompensasi uang pengganti untuk fasilitas rumah dinas yang kini tidak lagi disediakan oleh pemerintah. "Dulu, anggota DPR mendapat rumah jabatan gratis sebagai bagian dari dukungan tugas mereka. Sekarang, rumah-rumah itu dikembalikan ke pemerintah untuk dimanfaatkan lebih baik, dan sebagai gantinya, kami mendapat uang kompensasi untuk menyewa atau mengatur tempat tinggal sendiri," jelas Puan dengan nada yang tenang tapi meyakinkan.
Untuk lebih rinci, kompensasi ini bernilai sekitar Rp50 juta per bulan, khusus untuk anggota DPR yang berasal dari luar Jakarta atau yang memang membutuhkan dukungan perumahan di ibu kota. Ini bukanlah tambahan gaji pokok, melainkan bentuk tunjangan yang dirancang untuk memastikan para wakil rakyat bisa fokus pada tugas mereka tanpa khawatir soal akomodasi. Puan menambahkan bahwa kebijakan ini sebenarnya sudah dibahas dalam rapat internal DPR dan disetujui sebagai bagian dari efisiensi anggaran negara. "Kami ingin anggaran lebih efektif, bukan malah membengkak tanpa alasan," tegasnya.
Sekarang, bagaimana dengan gaji pokok sebenarnya? Mari kita bedah satu per satu agar pembaca bisa melihat gambaran utuh. Berdasarkan aturan yang berlaku, gaji pokok anggota DPR tetap tidak berubah dan tergolong sederhana jika dibandingkan dengan tanggung jawab mereka. Untuk Ketua DPR seperti Puan sendiri, gaji pokoknya hanya Rp5,04 juta per bulan. Wakil Ketua DPR mendapat Rp4,62 juta, sementara anggota biasa menerima Rp4,2 juta. Angka-angka ini sudah termasuk dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPR, yang belum mengalami revisi signifikan.
Tapi, tentu saja, penghasilan total anggota DPR tidak hanya dari gaji pokok. Ada berbagai tunjangan yang menyertainya, seperti tunjangan komunikasi, tunjangan perumahan (yang kini diganti kompensasi), tunjangan transportasi, dan biaya reses untuk bertemu konstituen di daerah pemilihan. Tunjangan-tunjangan ini memang bisa menumpuk hingga puluhan juta rupiah, tapi tujuannya adalah mendukung kinerja mereka dalam mewakili rakyat. Misalnya, tunjangan reses sering digunakan untuk menggelar pertemuan dengan masyarakat, mendengar aspirasi, dan membagikan bantuan langsung. "Ini bukan uang pribadi, tapi untuk fasilitasi tugas kami sebagai wakil rakyat," kata Puan, menekankan pentingnya transparansi dalam penggunaan dana tersebut.
Reaksi publik terhadap klarifikasi ini pun beragam. Di satu sisi, banyak yang lega karena isu kenaikan gaji ternyata hanya salah paham. Seorang warga Jakarta, misalnya, yang saya temui di warung kopi pinggir jalan, berkata, "Syukurlah kalau begitu, asal jangan seenaknya naikin gaji sendiri sementara rakyat susah." Namun, di sisi lain, ada juga yang tetap skeptis. Aktivis anti-korupsi dari berbagai organisasi masyarakat sipil menuntut audit lebih ketat atas penggunaan tunjangan ini, agar tidak ada penyalahgunaan. "Kompensasi Rp50 juta per bulan itu tetap saja besar, harus ada laporan detail kemana uangnya mengalir," ujar salah satu aktivis yang enggan disebut namanya.
Dari perspektif jurnalis yang sudah lama meliput isu parlemen, isu seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Setiap tahun, saat pembahasan anggaran negara, DPR sering menjadi sasaran kritik karena dianggap terlalu "nyaman" dengan fasilitasnya. Tapi, klarifikasi Puan kali ini setidaknya membuka ruang dialog yang lebih sehat. Ini juga menjadi pengingat bagi kita semua bahwa informasi di era digital sering kali tersebar cepat tanpa verifikasi, dan tugas kita sebagai masyarakat adalah mencari kebenaran di balik headline yang bombastis.
Pada akhirnya, apa yang bisa kita ambil dari kehebohan ini? Pertama, pentingnya komunikasi terbuka dari para pemimpin seperti Puan Maharani untuk mencegah salah paham. Kedua, DPR sebagai lembaga wakil rakyat harus terus meningkatkan transparansi, mungkin dengan mempublikasikan laporan keuangan secara rutin di situs resmi mereka. Dan ketiga, bagi kita sebagai rakyat, mari gunakan isu ini sebagai momentum untuk lebih aktif mengawasi kinerja wakil kita. Karena pada dasarnya, DPR ada untuk melayani kita, bukan sebaliknya.
Dengan demikian, isu "gaji DPR Rp100 juta" yang sempat bikin heboh ini ternyata hanyalah kabut tebal yang kini mulai tersibak. Semoga klarifikasi ini membawa angin segar bagi kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif kita. Tetap pantau perkembangan selanjutnya, karena politik Indonesia selalu penuh kejutan!
