Heboh! Sri Mulyani Singgung Gaji Guru dan Dosen Terlalu Kecil: 'Tak Harus Semua dari Negara'?
Kabarsuarakyat - Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini langsung menyulut perdebatan sengit di kalangan pendidik dan masyarakat luas. Dalam sebuah acara diskusi ekonomi di salah satu universitas ternama di Bandung, Sri Mulyani menyentuh isu sensitif soal gaji guru dan dosen yang dinilai masih terlalu rendah. Namun, yang membuat heboh adalah pandangannya bahwa peningkatan kesejahteraan para pendidik ini tak harus sepenuhnya bergantung pada anggaran negara. "Tak harus semua dari negara," ujarnya tegas, yang langsung menjadi sorotan utama di media sosial dan forum-forum pendidikan.
Bayangkan saja, di tengah tuntutan masyarakat akan kualitas pendidikan yang lebih baik, isu gaji pendidik kembali mencuat. Sri Mulyani, yang dikenal sebagai sosok tegas dalam mengelola keuangan negara, tak ragu menyoroti realitas pahit yang dihadapi ribuan guru dan dosen di Indonesia. Menurutnya, gaji yang rendah bukan hanya masalah pribadi para pendidik, tapi juga hambatan besar bagi kemajuan bangsa. "Kita semua tahu, gaji guru dan dosen di negeri ini masih jauh dari kata layak. Mereka adalah pilar pendidikan, tapi sering kali harus berjuang dengan penghasilan yang pas-pasan," katanya dalam pidato yang disambut tepuk tangan meriah, tapi juga gumaman kritis dari audiens.
Latar belakang pernyataan ini tak lepas dari kondisi ekonomi nasional saat ini. Di tengah pemulihan pasca-pandemi dan tekanan inflasi global, anggaran pendidikan memang menjadi salah satu prioritas pemerintah. Konstitusi kita sendiri mewajibkan alokasi minimal 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan, tapi realisasinya sering kali terbentur dengan kebutuhan lain seperti infrastruktur dan subsidi energi. Sri Mulyani menjelaskan bahwa APBN tahun ini sudah dialokasikan secara ketat, dengan fokus pada program-program yang bisa memberikan dampak langsung bagi masyarakat. Namun, ia menekankan bahwa meningkatkan gaji pendidik bukanlah tugas negara semata. "Kita perlu melibatkan lebih banyak pihak, seperti sektor swasta, yayasan pendidikan, dan bahkan komunitas lokal. Tak harus semua dari negara, karena itu bisa menciptakan ketergantungan yang tidak sehat," tambahnya.
Pernyataan ini langsung memicu reaksi beragam. Bagi sebagian kalangan, ini adalah panggilan untuk inovasi. Misalnya, bagaimana perusahaan-perusahaan besar bisa ikut serta melalui program corporate social responsibility (CSR) yang lebih terarah ke pendidikan. Bayangkan jika perusahaan teknologi raksasa menyumbang dana untuk beasiswa dosen atau pelatihan guru, atau jika universitas swasta bisa menarik investasi dari luar untuk meningkatkan gaji staf pengajarnya. Ini bukan ide baru, tapi Sri Mulyani membuatnya terdengar lebih mendesak. "Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Jika kita ingin anak-anak kita kompetitif di era digital ini, kita harus pastikan guru dan dosennya sejahtera dulu," ujarnya, sambil mengilustrasikan dengan data sederhana: seorang guru SD di daerah terpencil sering hanya mendapat gaji di bawah Rp 5 juta per bulan, sementara biaya hidup terus naik.
Tapi, tak sedikit yang mengkritik pendekatan ini. Beberapa serikat guru langsung angkat bicara, menyebut pernyataan Sri Mulyani sebagai upaya pemerintah untuk melepaskan tanggung jawab. "Negara wajib menjamin kesejahteraan pendidik sesuai amanat undang-undang. Jangan lempar bola ke swasta sementara APBN digelontorkan ke proyek lain," kata seorang perwakilan serikat guru di Jakarta, yang enggan disebut namanya. Kritik ini semakin ramai di media sosial, dengan hashtag #GajiGuruNaik dan #SriMulyani trending selama berhari-hari. Netizen ramai-ramai berbagi cerita pribadi: ada dosen yang harus jadi ojek online untuk tambah penghasilan, atau guru honorer yang bergaji ala kadarnya tapi tetap setia mengajar di pedalaman.
Untuk memahami lebih dalam, mari kita bedah konteksnya. Indonesia punya jutaan guru dan dosen yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Data terbaru menunjukkan bahwa rata-rata gaji guru PNS sekitar Rp 4-7 juta, tergantung golongan dan daerah. Untuk dosen, angkanya bisa lebih tinggi di universitas negeri, tapi tetap kalah jauh dibanding negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia. Sri Mulyani mengakui ini sebagai "tantangan struktural" yang tak bisa diselesaikan semalam. Ia mencontohkan bagaimana negara-negara maju seperti Finlandia melibatkan swasta dalam pendidikan, di mana perusahaan ikut mendanai penelitian dosen atau program magang guru. "Kita bisa belajar dari sana. Tak harus copy-paste, tapi adaptasi sesuai kondisi kita," katanya.
Lebih lanjut, dalam diskusi tersebut, Sri Mulyani juga menyentuh soal reformasi sistem pendidikan secara keseluruhan. Ia menyarankan agar universitas dan sekolah lebih mandiri dalam mencari pendanaan, misalnya melalui kerjasama riset dengan industri atau pengembangan kampus berbasis teknologi. "Bayangkan jika dosen bisa mendapat royalti dari penelitiannya yang dipatenkan, atau guru bisa ikut program pelatihan berbayar dari perusahaan. Ini bisa jadi solusi win-win," jelasnya. Ide ini terdengar segar, terutama bagi generasi muda yang haus akan perubahan. Tapi, ia juga mengingatkan bahwa pemerintah tetap berkomitmen meningkatkan anggaran pendidikan secara bertahap. "Tahun depan, kami rencanakan peningkatan alokasi untuk tunjangan guru dan dosen, tapi itu harus diimbangi dengan efisiensi," tambahnya.
Reaksi dari kalangan akademisi pun tak kalah menarik. Seorang rektor universitas di Yogyakarta yang hadir dalam acara itu setuju dengan Sri Mulyani. "Ini saatnya kita berpikir out of the box. Gaji dosen kecil bukan rahasia lagi, tapi jika kita tunggu negara saja, kapan majunya?" katanya. Di sisi lain, mahasiswa yang ikut demo kecil-kecilan di luar venue menuntut agar pemerintah lebih serius. "Pendidikan gratis dan berkualitas itu hak kami. Jangan suruh swasta yang untungnya tak pasti," teriak mereka.
Pernyataan Sri Mulyani ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Sebagai mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, ia sering kali bicara soal keberlanjutan fiskal dan peran multipihak dalam pembangunan. Tapi kali ini, timing-nya pas dengan momentum Hari Pendidikan Nasional yang baru lewat, membuat isu ini semakin bergaung. Bagi pembaca yang ingin memahami lebih jauh, ini adalah panggilan untuk refleksi bersama: apakah kita siap melibatkan lebih banyak pihak demi masa depan pendidikan, atau tetap bergantung pada negara?
Yang jelas, perdebatan ini tak akan berhenti di sini. Pemerintah diharapkan segera merespons dengan kebijakan konkret, sementara masyarakat terus mengawasi. Sri Mulyani sendiri menutup pidatonya dengan nada optimis: "Mari kita bangun ekosistem pendidikan yang kuat, di mana guru dan dosen tak lagi khawatir soal gaji, tapi fokus mendidik generasi penerus." Kata-kata itu, meski sederhana, cukup untuk membuat kita semua berpikir ulang tentang prioritas bangsa.
.webp)