Tragedi Berdarah Demo Jakarta: Affan Kurniawan, Driver Ojol Muda Tewas Remuk Dilindas Rantis Brimob – Siapa Bertanggung Jawab?
Mari kita mundur sejenak untuk memahami bagaimana hari yang seharusnya biasa bagi Affan berubah menjadi mimpi buruk. Pagi itu, ribuan demonstran memadati kawasan Senayan hingga Pejompongan, Jakarta Pusat. Mereka datang dari berbagai kalangan: buruh pabrik yang lelah dengan gaji pas-pasan, mahasiswa yang geram dengan kebijakan pemerintah yang dianggap tak adil, dan bahkan pengemudi transportasi online seperti Affan yang ikut bergabung karena merasa terdampak inflasi dan biaya hidup yang melonjak. Affan sendiri bukanlah aktivis garis depan. Dia hanyalah seorang anak muda asal pinggiran Jakarta yang mencari nafkah dengan mengantar penumpang dan paket melalui aplikasi ojek online. "Saya cuma ingin suara kami didengar," kata Affan dalam pesan terakhirnya kepada teman-temannya, seperti yang diceritakan oleh rekan sesama driver.
Demo dimulai damai, dengan orasi bergantian dan spanduk-spanduk yang menuntut perubahan. Namun, seperti banyak aksi massa sebelumnya, ketegangan mulai muncul saat petang menjelang. Bentrokan pecah ketika sekelompok demonstran mencoba mendekati gedung DPR, dan aparat keamanan merespons dengan gas air mata serta barikade. Di tengah kekacauan itu, Affan terjebak. Saksi mata menggambarkan bagaimana rantis Brimob, yang seharusnya digunakan untuk mengendalikan massa, justru melaju kencang ke arah kerumunan. Affan, yang sedang berusaha menyelamatkan diri, terjatuh dan tak sempat bangun. Kendaraan berat itu melindas tubuhnya, meninggalkan luka parah yang tak tertolong. Paramedis yang tiba di lokasi hanya bisa menggelengkan kepala; Affan dinyatakan meninggal dunia di tempat kejadian.
Kisah Affan bukanlah cerita asing di negeri ini. Dia mewakili jutaan anak muda yang berjuang di gig economy, di mana hari-hari diisi dengan jam kerja panjang tanpa jaminan sosial yang memadai. Lahir di keluarga sederhana di Bekasi, Affan putus sekolah setelah SMA karena harus membantu orang tuanya. Dia memilih menjadi driver ojol karena fleksibilitasnya, tapi realitas lapangan sering kali brutal: kompetisi ketat, tarif yang turun, dan risiko kecelakaan di jalan raya. "Affan anak yang rajin, selalu kirim uang ke kampung setiap minggu," ujar ibunya dengan suara parau saat ditemui di rumah duka. Keluarganya kini ditinggal dengan luka yang tak tergantikan, dan tuntutan mereka sederhana: keadilan.
Reaksi atas tragedi ini langsung membanjiri media sosial dan jalanan. Asosiasi pengemudi ojek online menggelar aksi solidaritas, menuntut agar pemerintah dan polisi memberikan transparansi penuh. "Ini bukan pertama kalinya aparat bertindak berlebihan," kata seorang perwakilan asosiasi, menyoroti sejarah panjang demonstrasi di Indonesia yang sering berakhir dengan korban jiwa. Dari kalangan politik, tokoh seperti Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan belasungkawa mendalam, sambil menekankan perlunya investigasi independen. "Kita tak boleh biarkan nyawa rakyat hilang sia-sia," katanya dalam pernyataan resminya. Bahkan, organisasi hak asasi manusia internasional mulai ikut bersuara, menyebut insiden ini sebagai pelanggaran serius terhadap hak hidup dan kebebasan berekspresi.
Sementara itu, pihak kepolisian tak tinggal diam. Kapolri langsung memerintahkan pemeriksaan internal, dan tujuh anggota Brimob yang terlibat telah diamankan untuk diinterogasi. "Kami akan selidiki secara tuntas, termasuk apakah ada kesalahan prosedur dalam penggunaan rantis," janji juru bicara Polri. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah ini sekadar kecelakaan tragis, atau ada elemen kelalaian yang disengaja? Video amatir yang beredar menunjukkan momen mencekam itu, meski kualitasnya buram karena diambil di tengah kepanikan. Analis keamanan menilai bahwa penggunaan kendaraan berat di area massa padat seharusnya menjadi pilihan terakhir, dan protokol internasional menekankan proporsionalitas dalam penanganan demonstrasi.
Tragedi Affan Kurniawan ini mengingatkan kita pada isu yang lebih dalam di masyarakat Indonesia: ketimpangan sosial yang memicu unjuk rasa, serta tantangan aparat dalam menjaga keseimbangan antara keamanan dan hak asasi. Demo kemarin bukanlah yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir. Sejak era reformasi, ratusan nyawa telah hilang dalam aksi serupa, dari Tragedi Semanggi hingga kasus-kasus baru-baru ini. Apakah pemerintah akan belajar dari ini? Atau kita akan terus melihat siklus kekerasan yang berulang?
Saat ini, jenazah Affan telah dimakamkan di kampung halamannya, ditemani ratapan keluarga dan doa dari ribuan orang yang tak dikenalnya. Tapi, perjuangannya tak boleh berakhir di sini. Masyarakat menunggu jawaban: siapa yang bertanggung jawab? Apakah Brimob, komando atasannya, atau sistem yang lebih besar yang gagal melindungi rakyatnya? Hanya waktu dan investigasi yang akan menjawab. Yang pasti, nama Affan Kurniawan kini menjadi simbol perlawanan bagi generasi muda yang haus akan keadilan. Semoga tragedi ini menjadi titik balik, bukan sekadar catatan kelam di lembaran sejarah bangsa.
