Bom Waktu di Surga Bawah Laut: Tambang Nikel PT Gag Nikel Kembali Beroperasi di Raja Ampat, Greenpeace Sebut Keserakahan Pemerintah!
Latar Belakang Kontroversi Tambang Nikel di Raja Ampat
Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata eksotis; ia adalah salah satu hotspot biodiversitas terbesar di dunia. Kawasan ini, yang terdiri dari lebih dari 1.500 pulau kecil, menyimpan kekayaan alam bawah laut yang tak ternilai. Namun, sejak beberapa tahun lalu, prospek tambang nikel mulai mengintai. Nikel, bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik dan teknologi hijau, menjadi incaran investor global. PT Gag Nikel, anak usaha dari grup pertambangan nasional, pertama kali mendapatkan izin operasi pada 2022, tapi langsung dihadang protes massal.
Pada 2023, operasi sempat dihentikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setelah laporan tentang pencemaran air dan kerusakan ekosistem. Saat itu, nelayan lokal melaporkan penurunan hasil tangkapan ikan, sementara peneliti menemukan jejak logam berat di sedimen laut. "Kami pikir ini sudah berakhir," kata seorang nelayan di Waigeo, salah satu pulau utama di Raja Ampat. "Tapi sekarang, tambang kembali hidup, dan kami khawatir masa depan anak cucu kami."
Keputusan untuk mengaktifkan kembali tambang ini datang pada awal 2025, setelah pemerintah mengeluarkan izin baru dengan alasan "pembangunan berkelanjutan". Menurut pejabat setempat, operasi kali ini akan dilengkapi teknologi ramah lingkungan, seperti sistem pengolahan limbah canggih dan pemantauan real-time. Namun, bagi banyak pihak, ini hanyalah janji manis yang sering kali tak terealisasi di lapangan.
Dampak Lingkungan yang Mengkhawatirkan
Bayangkan saja: air jernih Raja Ampat yang biasanya menjadi surga penyelam, kini berpotensi tercemar oleh limbah tambang. Proses penambangan nikel melibatkan penggalian besar-besaran, yang bisa menyebabkan erosi tanah dan aliran sedimen ke laut. Sedimen ini, bercampur dengan zat kimia seperti asam sulfat dari proses pemurnian, dapat membunuh terumbu karang secara perlahan. "Ini seperti melempar racun ke taman eden bawah air," ujar seorang ahli biologi kelautan yang pernah meneliti di sana.
Tidak hanya itu, kebisingan dari alat berat dan lalu lintas kapal pengangkut bisa mengganggu migrasi hewan laut, termasuk hiu paus dan pari manta yang menjadi ikon Raja Ampat. Ekonomi lokal, yang bergantung pada pariwisata dan perikanan, juga terancam. Data dari asosiasi pariwisata setempat menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan ke Raja Ampat mencapai rekor 500.000 orang per tahun sebelum pandemi, tapi angka itu bisa anjlok jika citra "surga bawah laut" tercoreng.
Greenpeace, sebagai salah satu organisasi lingkungan terdepan, langsung bereaksi. Dalam pernyataan resminya, mereka menyebut keputusan ini sebagai "keserakahan pemerintah yang mengorbankan alam demi keuntungan segelintir orang". "Indonesia punya komitmen global untuk melindungi biodiversitas, tapi ini justru kontradiktif," kata juru bicara Greenpeace Indonesia. Mereka menuntut audit independen dan moratorium tambang di kawasan lindung seperti Raja Ampat.
Suara Masyarakat dan Respons Pemerintah
Di tengah hiruk-pikuk ini, suara masyarakat lokal semakin lantang. Kelompok adat di Raja Ampat, yang memiliki hak ulayat atas tanah dan laut, merasa dilangkahi. "Tanah ini warisan leluhur, bukan untuk digali seenaknya," protes seorang tokoh adat dalam pertemuan komunitas baru-baru ini. Petisi online yang beredar di media sosial sudah mengumpulkan puluhan ribu tanda tangan, menuntut pembatalan izin.
Pemerintah, di sisi lain, membela keputusan ini dengan argumen ekonomi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan bahwa tambang nikel di Raja Ampat akan menciptakan ribuan lapangan kerja dan menyumbang devisa negara hingga triliunan rupiah. "Kami tidak anti-lingkungan; ini bagian dari transisi energi hijau," katanya dalam konferensi pers. Namun, kritikus menilai ini sebagai dalih, mengingat Indonesia sudah menjadi produsen nikel terbesar dunia tanpa harus mengorbankan situs warisan dunia seperti Raja Ampat.
PT Gag Nikel sendiri mengklaim telah belajar dari kesalahan masa lalu. Perusahaan ini berjanji untuk melakukan restorasi ekosistem pasca-tambang dan bekerja sama dengan komunitas lokal. "Kami berkomitmen pada standar internasional," ujar CEO mereka. Tapi, sejarah pertambangan di Indonesia penuh dengan cerita kegagalan rehabilitasi, membuat janji ini diragukan.
Apa Selanjutnya untuk Raja Ampat?
Kasus ini bukan hanya tentang Raja Ampat; ia mencerminkan dilema besar Indonesia sebagai negara berkembang. Di satu sisi, kebutuhan akan nikel untuk baterai EV mendukung agenda global perubahan iklim. Di sisi lain, pengorbanan alam bisa berdampak irreversibel. Para ahli menyarankan pendekatan alternatif, seperti penambangan di wilayah non-sensitif atau investasi di teknologi daur ulang nikel.
Bagi pembaca yang peduli lingkungan, inilah saatnya untuk bertindak. Dukung petisi, boikot produk dari perusahaan tidak ramah lingkungan, atau kunjungi Raja Ampat untuk melihat sendiri keindahannya sebelum terlambat. Apakah pemerintah akan mendengar suara rakyat, atau keserakahan akan menang? Waktu akan menjawab, tapi satu hal pasti: surga bawah laut ini tidak boleh menjadi korban ambisi manusia.
