Kasus Keracunan MBG Melonjak: Benarkah Program Makan Bergizi Gratis Gagal Jaga Kesehatan Anak?
Gelombang Keracunan yang Mengkhawatirkan
Sejak diluncurkan pada 6 Januari 2025, MBG ditargetkan menjangkau 82,9 juta penerima manfaat, mulai dari siswa PAUD hingga SMA, serta ibu hamil dan menyusui di 26 provinsi. Namun, harapan untuk menciptakan generasi emas menuju Indonesia Emas 2045 terganjal oleh laporan berulang tentang keracunan massal. Data terbaru menyebutkan lebih dari 5.000 anak di berbagai wilayah Indonesia mengalami gejala keracunan, mulai dari mual, muntah, pusing, hingga diare parah, usai menyantap makanan dari program ini.
Kasus-kasus mencolok terjadi di berbagai daerah. Di Baubau, Sulawesi Tenggara, puluhan siswa SMA dan SD harus dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap menu ayam woku yang berbau dan berlendir. Di Garut, Jawa Barat, ratusan pelajar dari berbagai jenjang pendidikan mengalami gejala serupa, dengan beberapa di antaranya membutuhkan perawatan intensif. Tak ketinggalan, di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, ratusan siswa dilaporkan muntah dan sesak napas setelah mengonsumsi menu ikan cakalang yang diduga tak layak konsumsi.
Apa yang Salah dengan MBG?
Di balik niat baik untuk memberikan makanan bergizi gratis, sejumlah masalah mendasar mulai terkuak. Pertama, pengawasan yang lemah menjadi sorotan utama. Banyak dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yang bertugas menyiapkan dan mendistribusikan makanan MBG, dilaporkan tidak memenuhi standar kebersihan. Beberapa dapur bahkan diketahui menyiapkan makanan di lingkungan yang jauh dari kata higienis, seperti memasak di lantai atau menggunakan bahan baku yang sudah kadaluarsa.
Kedua, distribusi makanan menjadi titik lemah lainnya. Makanan yang disiapkan sejak dini hari sering kali baru sampai di sekolah pada waktu istirahat, terlambat hingga 30 menit dari jadwal ideal. Akibatnya, makanan menjadi rentan terhadap kontaminasi bakteri seperti Salmonella, E.coli, atau Bacillus cereus, yang menjadi pemicu utama keracunan. Produk hewani, seperti daging ayam dan ikan, yang merupakan menu andalan MBG, dikenal sensitif terhadap penyimpanan dan pengolahan yang tidak tepat, memperbesar risiko kerusakan.
Ketiga, kurangnya pelatihan bagi tenaga dapur juga menjadi biang keladi. Banyak SPPG yang baru beroperasi tidak memiliki pengalaman menangani produksi makanan dalam jumlah besar, hingga ribuan porsi per hari. Hal ini menyebabkan ketidakpatuhan terhadap standar keamanan pangan, mulai dari pemeriksaan bahan baku hingga proses memasak yang tidak memastikan makanan matang sempurna.
Trauma Siswa dan Orang Tua
Dampak dari insiden keracunan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis. Banyak siswa dan orang tua kini dilanda trauma. Fitri, seorang ibu di Sumatra Selatan, menceritakan pengalaman anaknya yang muntah-muntah setelah menyantap ikan tongkol suwir dari MBG. “Saya pikir program ini akan membantu, tapi malah bikin anak saya sakit. Sekarang saya larang dia makan dari program itu,” ujarnya dengan nada kecewa.
Di sekolah-sekolah, suasana panik kerap terjadi saat kasus keracunan terdeteksi. Guru dan kepala sekolah kewalahan menghadapi situasi darurat, sementara orang tua murid mulai mempertanyakan keamanan program ini. Beberapa sekolah bahkan memilih untuk menghentikan distribusi makanan MBG sementara waktu, menunggu jaminan keamanan yang lebih baik.
Pemerintah dalam Tekanan
Badan Gizi Nasional (BGN), yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan MBG, kini berada di bawah tekanan besar. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyatakan bahwa pihaknya terus berupaya memperbaiki sistem, termasuk dengan menerbitkan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) untuk SPPG serta memberikan pelatihan rutin bagi tenaga dapur. Namun, pernyataan ini dianggap belum cukup oleh banyak pihak, terutama karena kasus keracunan terus berulang.
Desakan untuk menghentikan sementara program MBG pun semakin menguat. Organisasi seperti Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyerukan moratorium hingga evaluasi menyeluruh dilakukan. “Keselamatan anak harus menjadi prioritas utama. Program ini tidak boleh mengorbankan nyawa anak-anak hanya demi mengejar target politik,” tegas Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI.
Pemerintah, di sisi lain, bersikukuh bahwa MBG tetap harus berjalan karena tujuannya yang mulia. Mereka berargumen bahwa insiden keracunan adalah “evaluasi berjalan” untuk memperbaiki sistem. Namun, pendekatan ini dikritik karena dianggap mengabaikan urgensi keselamatan anak-anak.
Solusi untuk Masa Depan MBG
Untuk menyelamatkan program MBG dari jurang kegagalan, sejumlah langkah konkret perlu diambil. Pertama, pemerintah harus memastikan semua dapur SPPG memiliki sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi dari Kementerian Kesehatan. Inspeksi rutin terhadap dapur dan rantai distribusi juga harus dilakukan secara ketat, dengan anggaran yang memadai.
Kedua, pelatihan intensif bagi tenaga dapur harus menjadi prioritas. Mereka perlu dibekali pengetahuan tentang keamanan pangan, termasuk cara memeriksa kualitas bahan baku dan memastikan makanan disajikan dalam kondisi segar. Ketiga, waktu distribusi perlu diatur ulang agar makanan tidak terlalu lama tersimpan sebelum sampai ke tangan siswa.
Terakhir, transparansi menjadi kunci. Pemerintah perlu menyediakan dasbor pelaporan publik yang memungkinkan masyarakat memantau pelaksanaan MBG, termasuk laporan kasus keracunan dan tindakan yang diambil. Hal ini dapat mengurangi kecurigaan adanya upaya menutup-nutupi insiden oleh sekolah atau pemerintah daerah.
Harapan yang Belum Padam
Meski didera masalah, MBG sejatinya memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah gizi anak-anak Indonesia. Dengan anggaran Rp71 triliun, program ini bisa menjadi game-changer dalam meningkatkan kesehatan dan kecerdasan generasi masa depan. Namun, tanpa perbaikan mendasar, visi mulia ini hanya akan menjadi mimpi yang berujung trauma.
Kini, bola ada di tangan pemerintah. Akankah MBG mampu bangkit sebagai program yang benar-benar memberi manfaat, atau justru terus menuai kritik dan ketakutan? Hanya waktu dan komitmen nyata yang akan menjawab.
