Skandal Besar: Israel Bayar Google Rp700 Miliar untuk Sebarkan Propaganda Menyangkal Kelaparan di Gaza!
Kabarsuarakyat - Di tengah konflik yang tak kunjung usai di Timur Tengah, sebuah pengungkapan mengejutkan baru saja mengguncang dunia digital. Pemerintah Israel dikabarkan telah menandatangani kesepakatan senilai $45 juta—atau setara dengan sekitar Rp700 miliar—dengan raksasa teknologi Google. Tujuannya? Untuk meluncurkan kampanye iklan global yang secara sistematis menyangkal adanya kelaparan massal di Jalur Gaza. Kesepakatan ini, yang berlangsung selama enam bulan sejak Maret lalu, telah memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan, termasuk aktivis hak asasi manusia dan organisasi internasional yang menilai ini sebagai upaya propaganda yang licik untuk membelokkan opini publik dunia.
Bayangkan saja: sementara laporan-laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan badan kemanusiaan lainnya terus menyoroti krisis kemanusiaan di Gaza—di mana ribuan warga sipil, termasuk anak-anak dan lansia, berjuang melawan kelaparan akibat blokade ketat—Israel justru menggelontorkan dana raksasa untuk membantah fakta tersebut. Kampanye ini tidak main-main. Melalui platform Google dan YouTube, iklan-iklan berbayar muncul di layar pengguna di seluruh dunia, menampilkan narasi yang mengklaim bahwa pasokan makanan dan bantuan ke Gaza tetap lancar, meski bukti di lapangan menunjukkan sebaliknya. "Ini bukan sekadar iklan biasa," kata seorang analis media independen yang kami wawancarai, "Ini adalah mesin propaganda modern yang dirancang untuk membingungkan dan memanipulasi persepsi global."
Untuk memahami akar masalah ini, mari kita mundur sedikit ke belakang. Konflik Israel-Palestina, khususnya di Gaza, telah berlangsung selama puluhan tahun, dengan puncaknya pada eskalasi kekerasan sejak akhir 2023. Blokade yang diberlakukan Israel atas Gaza—yang mencakup pembatasan masuknya makanan, obat-obatan, dan bahan bakar—telah menyebabkan apa yang disebut oleh para ahli sebagai "krisis kelaparan buatan manusia". Laporan PBB pada awal 2025 bahkan memperingatkan bahwa setengah dari populasi Gaza, sekitar 1,1 juta orang, berada di ambang kelaparan parah. Gambar-gambar anak-anak kurus kering dan antrean panjang untuk makanan sederhana menjadi simbol tragedi ini. Namun, di sisi lain, pemerintah Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bersikeras bahwa tuduhan tersebut berlebihan dan merupakan bagian dari kampanye anti-Israel.
Masuklah Google ke dalam persamaan ini. Sebagai perusahaan teknologi terbesar di dunia, Google memiliki jangkauan yang tak tertandingi melalui mesin pencariannya, YouTube, dan jaringan iklan digital. Kesepakatan dengan kantor Netanyahu ini dilaporkan melibatkan pembuatan dan penayangan video-video pendek yang menampilkan testimoni dari pejabat Israel, cuplikan drone yang menunjukkan "pasar-pasar ramai" di Gaza, dan data selektif yang mengklaim bahwa bantuan internasional telah mengalir deras. Iklan-iklan ini ditargetkan secara spesifik ke audiens di Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara lain di mana opini publik semakin kritis terhadap kebijakan Israel. "Mereka tidak hanya membayar untuk visibilitas," jelas seorang pakar komunikasi politik, "Tapi juga untuk membangun narasi alternatif yang bisa mengalahkan laporan-laporan independen di hasil pencarian teratas."
Apa yang membuat skandal ini semakin menarik adalah timing-nya. Kesepakatan ini dimulai tepat setelah Israel mengumumkan pembatasan lebih ketat terhadap bantuan kemanusiaan ke Gaza pada awal Maret 2025. Saat itu, dunia internasional sedang gencar menyerukan gencatan senjata dan akses bebas untuk truk-truk bantuan. Namun, alih-alih merespons panggilan tersebut, Israel memilih jalur digital untuk "membersihkan" citranya. Dana Rp700 miliar itu bukan angka kecil—itu setara dengan anggaran tahunan untuk program kesejahteraan di beberapa negara berkembang. Kritikus menuding bahwa uang tersebut seharusnya dialokasikan untuk solusi nyata, bukan untuk membeli pengaruh di dunia maya.
Dampak dari kampanye ini pun sudah terasa. Di media sosial, perdebatan sengit meletus antara pendukung Israel yang mengutip iklan-iklan tersebut sebagai "bukti" dan kelompok pro-Palestina yang menuduh Google ikut serta dalam penyensoran informasi. Organisasi seperti Council on American-Islamic Relations (CAIR) telah menyerukan boikot terhadap Google, menyebut kesepakatan ini sebagai "komplisit dalam genosida". Di sisi lain, juru bicara Google menyatakan bahwa mereka hanya menyediakan platform iklan seperti biasa, tanpa campur tangan dalam konten politik. Namun, pertanyaan etis tetap menggantung: Seberapa jauh perusahaan teknologi boleh terlibat dalam konflik geopolitik?
Bagi pembaca yang ingin memahami lebih dalam, penting untuk melihat konteks lebih luas. Propaganda bukan hal baru dalam perang modern—sejak Perang Dunia II, pemerintah-pemerintah telah menggunakan media untuk membentuk opini. Tapi di era digital ini, dengan algoritma yang bisa menargetkan individu secara presisi, dampaknya jauh lebih besar. Kampanye Israel ini bisa menjadi preseden berbahaya, di mana fakta-fakta kemanusiaan dikalahkan oleh iklan berbayar. Apakah ini akan memengaruhi kebijakan internasional? Mungkin ya, jika opini publik berhasil dibelokkan.
Sementara itu, di Gaza, realitas tetap suram. Warga sipil terus berjuang untuk bertahan hidup, dengan laporan terbaru menunjukkan peningkatan kasus malnutrisi dan kematian akibat kelaparan. Skandal ini tidak hanya menyoroti ketegangan politik, tapi juga mengingatkan kita pada kekuatan teknologi dalam membentuk narasi global. Apakah Google akan mundur dari kesepakatan ini di tengah tekanan publik? Atau apakah ini baru permulaan dari era propaganda digital yang lebih canggih? Hanya waktu yang akan menjawab, tapi satu hal pasti: dunia sedang menyaksikan babak baru dalam perang informasi.
