Terungkap: Pernyataan Grup WA Pelaku & Sanksi 6 Mahasiswa dalam Tragedi Bullying Mahasiswa Unud — Kasus Timothy Anugerah Saputra
Awal Mula Kasus: Saat Canda Berubah Jadi Trauma
Peristiwa bermula dari kegiatan internal salah satu organisasi mahasiswa di Unud. Dalam kegiatan yang seharusnya menjadi ajang pengenalan dan pembinaan, Timothy diduga menerima perlakuan yang mengarah pada pelecehan verbal dan psikologis. Beberapa senior disebut kerap menggunakan kata-kata kasar, tekanan mental, bahkan melakukan intimidasi terhadap korban.
Awalnya, Timothy memilih diam. Namun, tekanan yang berulang membuatnya melapor ke pihak fakultas dan kemudian viral setelah rekaman percakapan grup WhatsApp yang melibatkan beberapa pelaku tersebar luas di media sosial.
Terbongkarnya Bukti Digital: Grup WhatsApp Pelaku Jadi Sorotan
Salah satu titik balik kasus ini muncul setelah tangkapan layar grup WhatsApp yang diduga berisi percakapan antara sejumlah mahasiswa senior tersebar di platform X (Twitter) dan Instagram. Dalam percakapan itu, terdapat candaan berbau perundungan dan kalimat yang mengarah pada penghinaan terhadap Timothy.
Publik bereaksi keras. Tagar #JusticeForTimothy sempat menempati posisi teratas di media sosial selama dua hari berturut-turut. Netizen menuntut transparansi dan keadilan dari pihak kampus.
Unud kemudian mengonfirmasi bahwa tim etik universitas telah memeriksa bukti digital tersebut. Hasil investigasi sementara menunjukkan adanya pelanggaran terhadap kode etik mahasiswa dan tindakan yang berpotensi masuk kategori kekerasan non-fisik di lingkungan pendidikan.
Langkah Tegas Kampus: Enam Mahasiswa Dijatuhi Sanksi
Pihak Universitas Udayana akhirnya mengambil langkah disipliner. Rektor Unud, melalui keterangan resmi, mengumumkan bahwa enam mahasiswa telah dijatuhi sanksi administratif dengan tingkatan berbeda — mulai dari skorsing satu semester hingga pembekuan aktivitas organisasi.
“Kami tidak menoleransi segala bentuk perundungan, baik fisik maupun verbal. Lingkungan akademik harus menjadi ruang yang aman dan bermartabat bagi semua mahasiswa,” tegas perwakilan universitas.
Sanksi tersebut disertai dengan program pembinaan karakter dan kewajiban mengikuti sesi konseling. Sementara itu, korban mendapatkan pendampingan psikologis dan bantuan akademik agar tetap bisa melanjutkan studinya tanpa tekanan.
Reaksi Publik dan Gelombang Dukungan
Kasus Timothy menggugah empati masyarakat luas. Ribuan komentar dukungan membanjiri akun media sosialnya. Komunitas mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia bahkan menggelar kampanye solidaritas bertajuk “Stop Normalisasi Bullying di Kampus”.
Beberapa alumni Unud turut bersuara, menekankan pentingnya reformasi budaya kampus agar orientasi mahasiswa baru benar-benar berfokus pada pembinaan, bukan ajang pembuktian kekuasaan senior.
Refleksi Sosial: Menghapus Budaya Senioritas yang Salah Kaprah
Kasus ini menyoroti fenomena lama dalam dunia kampus Indonesia: budaya senioritas yang sering kali disalahgunakan. Dalam banyak kasus, kegiatan pembinaan mahasiswa baru dijadikan ruang untuk menegakkan “aturan tak tertulis” yang berujung pada perundungan.
Pakar psikologi pendidikan menilai bahwa bullying di perguruan tinggi seringkali tidak tampak secara fisik, tetapi berdampak jauh lebih serius secara psikologis. Rasa takut, cemas, dan kehilangan kepercayaan diri dapat menghambat perkembangan akademik mahasiswa.
Timothy Anugerah Saputra: Simbol Perlawanan terhadap Kekerasan di Dunia Akademik
Meski sempat terpukul, Timothy kini menjadi simbol keberanian. Ia menginspirasi banyak mahasiswa lain untuk berani bersuara. “Saya tidak ingin ada lagi yang mengalami hal seperti saya,” ujarnya dalam pernyataan tertulis.
Keberaniannya membuka kasus ini menjadi titik penting bagi perubahan. Universitas Udayana pun berjanji akan memperkuat sistem pelaporan internal dan membentuk satuan khusus pencegahan kekerasan di lingkungan kampus.
Penutup: Momentum Perubahan bagi Dunia Pendidikan
Kasus Timothy Anugerah Saputra bukan sekadar isu kampus — ini adalah cermin dari tantangan dunia pendidikan dalam membangun budaya yang lebih manusiawi dan beradab. Bullying bukan bagian dari tradisi, melainkan pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Peristiwa ini diharapkan menjadi momentum perubahan bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Karena di balik setiap tindakan kekerasan yang dibiarkan, ada masa depan yang hancur — dan di balik setiap keberanian bersuara, ada peluang untuk memperbaiki sistem yang lebih adil bagi semua.
