Heboh Kades Suruh Korban Pemerkosaan Nikahi Pelaku, Inspektorat Jember Turun Tangan — Desak Proses Hukum Tegas untuk Lindungi Perempuan
Peristiwa ini tidak lagi dipandang sekadar tindak kriminal individual. Dampaknya merembet ke pertanyaan yang lebih besar: sejauh mana perangkat desa memahami bahwa pemerkosaan adalah tindak pidana serius, bukan urusan damai keluarga.
Kronologi kasus
Korban adalah mahasiswi berusia sekitar 21 tahun. Ia mengaku diperkosa oleh seorang pria yang dikenalnya dari lingkungan tempat tinggalnya. Kejadian diduga berlangsung secara paksa di rumah korban. Setelah mengalami kekerasan fisik dan ancaman, korban melapor kepada pihak desa dengan harapan mendapat perlindungan.
Namun, dalam proses awal pengaduan itu, kepala desa justru disebut menawarkan jalan “kekeluargaan”: pelaku tidak perlu diproses pidana selama bersedia menikahi korban. Opsi tersebut langsung ditolak keluarga korban. Korban kemudian melanjutkan laporan ke kepolisian, dan terduga pelaku berhasil diamankan aparat setelah sempat menjauh dari wilayah setempat.
Pernyataan kepala desa inilah yang memicu gelombang kemarahan publik. Di mata banyak orang, ucapan tersebut dianggap merendahkan korban dan mencoba mengubah tindak perkosaan menjadi sekadar “persoalan rumah tangga”.
Inspektorat turun tangan
Inspektorat Kabupaten Jember bergerak memanggil kepala desa untuk klarifikasi. Pemeriksaan internal ini menilai apakah ada pelanggaran etik dan pelanggaran kewajiban jabatan oleh aparat desa, terutama terkait kewajiban melindungi warga, melaporkan tindak pidana serius, dan tidak melakukan tindakan yang berpotensi menekan korban.
Dari pemeriksaan awal, inspektorat menyimpulkan telah terjadi kelalaian pelayanan publik. Kepala desa dinilai tidak menjalankan peran sebagai pelindung pertama bagi korban, dan tidak segera meneruskan kasus ini secara resmi ke jenjang pemerintahan di atasnya maupun ke aparat penegak hukum. Rekomendasi sanksi administratif sedang disiapkan untuk disampaikan kepada pemerintah kabupaten.
Mengapa ini penting? Karena kalau rekomendasi sanksi benar-benar dijalankan, ini akan menjadi sinyal bahwa pejabat desa tidak boleh lagi menyelesaikan kasus kekerasan seksual dengan pola “damai keluarga”, apalagi dengan memaksa korban menikah dengan pelaku.
Sorotan publik: perlindungan korban, bukan nama baik desa
Kasus ini langsung viral karena menyentuh problem yang sudah lama dibicarakan kelompok pendamping korban kekerasan seksual di Indonesia: ketika pelaku kekerasan seksual punya kedekatan sosial atau kekerabatan dengan pejabat lokal, sering kali muncul tekanan agar kasus “tidak dibawa ke polisi”. Tekanan itu biasanya dikemas sebagai upaya menjaga nama baik keluarga atau menjaga nama baik desa.
Pola ini berbahaya, karena ada dua lapis kekerasan terhadap korban. Lapis pertama adalah pemerkosaan itu sendiri. Lapis kedua adalah tekanan sosial untuk diam, yang ujungnya membuat pelaku seolah tidak melakukan kejahatan. Praktik “dinikahkan saja” pada dasarnya berpotensi mengubah korban menjadi istri dari orang yang memerkosanya, dan menutup akses korban terhadap keadilan hukum.
Dalam kasus Jember, reaksi masyarakat keras karena publik melihat ini bukan hanya salah ucap, tapi cermin cara pandang kekuasaan di tingkat desa terhadap tubuh perempuan: masalah bisa “beres” kalau sudah dinikahkan.
Isu layanan: korban masih harus berjuang sendiri
Fakta lain yang ikut disorot adalah cerita bahwa korban harus mengurus pembuktian medis secara mandiri setelah pelaporan, termasuk kebutuhan visum. Hal ini memunculkan pertanyaan tajam: apakah mekanisme layanan bagi korban kekerasan seksual sudah berpihak pada korban, atau justru masih menempatkan beban administratif dan biaya di pundak korban?
Setelah tekanan publik menguat, pemerintah daerah disebut mulai menyiapkan langkah dukungan seperti memastikan korban mendapat pendampingan medis dan psikologis tanpa dibebani biaya. Langkah ini dipandang penting karena menunjukkan perubahan pendekatan: korban diposisikan sebagai warga negara yang harus dilindungi, bukan dianggap sebagai sumber masalah sosial.
.webp)