Tragedi Ponpes Al Khoziny Sidoarjo: Korban Tewas Bertambah Jadi 37, Evakuasi Masih Berpacu dengan Waktu!
Kronologi Kejadian yang Mengguncang Hati
Semuanya bermula pada 29 September 2025, sekitar pukul 15.30 WIB. Saat itu, ratusan santri Ponpes Al Khoziny sedang menjalankan rutinitas harian mereka: salat Ashar berjamaah. Bangunan musala empat lantai yang sedang dalam tahap pembangunan tiba-tiba ambruk seperti rumah kartu yang roboh. Suara gemuruh beton dan jeritan panik memenuhi udara. Saksi mata menggambarkan momen itu sebagai "seperti gempa bumi yang datang dari atas."
Bangunan tersebut sebenarnya dirancang untuk menjadi pusat kegiatan keagamaan yang lebih luas, dengan lantai atas sedang dalam proses pengecoran. Namun, entah karena beban berlebih atau faktor lain, struktur itu tak kuat menahan. Para santri yang berada di lantai bawah langsung tertimpa reruntuhan, sementara yang lain berusaha menyelamatkan diri dengan berlari keluar. Beberapa bahkan terjebak di antara tumpukan beton, menunggu pertolongan yang datang terlambat. Kejadian ini langsung menjadi sorotan nasional, karena melibatkan anak-anak muda yang sedang menimba ilmu agama.
Mengapa ini begitu menyentuh? Ponpes Al Khoziny bukanlah pesantren biasa. Didirikan pada akhir 1990-an, lembaga ini dikenal sebagai pusat tahfidz Al-Qur'an yang ketat, menarik santri dari berbagai penjuru Indonesia. Banyak orang tua mempercayakan anak mereka di sini untuk dibentuk menjadi generasi berakhlak mulia. Tapi tragedi ini mengingatkan kita bahwa di balik niat baik, ada risiko keselamatan yang sering terabaikan.
Update Terkini: Korban Bertambah, Evakuasi yang Penuh Drama
Hingga pagi ini, 5 Oktober 2025, tim pencarian dan penyelamatan (SAR) yang melibatkan Basarnas, TNI, Polri, dan relawan lokal terus menggali puing-puing. Jumlah korban tewas resmi mencapai 37 orang, naik dari 26 kemarin setelah ditemukan 11 jenazah tambahan semalam. Dari total sekitar 141 santri yang terlibat, 104 di antaranya berhasil diselamatkan, meski banyak yang mengalami luka berat seperti patah tulang, trauma kepala, dan cedera internal.
Salah satu cerita yang paling mengharukan datang dari seorang santri berusia 15 tahun yang selamat setelah kakinya diamputasi di tempat kejadian. Dokter darurat dari tim medis harus mengambil keputusan cepat untuk menyelamatkan nyawanya, karena kakinya tertindih beton selama berjam-jam. "Ini seperti adegan film perang, tapi nyata," kata seorang relawan yang ikut evakuasi. Tim menggunakan alat berat seperti ekskavator dan drone dengan sensor termal untuk mendeteksi tanda kehidupan di bawah reruntuhan. Namun, hujan deras yang mengguyur Sidoarjo kemarin malam mempersulit proses, membuat tanah licin dan risiko longsor puing semakin tinggi.
Evakuasi ini bukan hanya soal fisik; ini juga ujian emosional. Keluarga korban berkumpul di sekitar lokasi, menunggu kabar dengan air mata. Seorang ayah dari Jember bercerita bagaimana ia menempuh perjalanan 10 jam hanya untuk mendengar nama anaknya disebut dalam daftar korban. "Anak saya baru dua bulan di sana, dia ingin jadi hafidz Qur'an," ujarnya pilu. Tim psikolog dari Kementerian Kesehatan telah dikerahkan untuk mendampingi mereka, mencegah trauma berkepanjangan.
Dugaan Penyebab: Dari Kegagalan Konstruksi hingga Faktor Alam
Apa yang sebenarnya menyebabkan musala itu runtuh? Para ahli teknik sipil yang memeriksa lokasi menduga ada kegagalan struktural utama. Bangunan itu dibangun dengan metode pengecoran bertahap, tapi mungkin tidak memperhitungkan beban dinamis dari ratusan orang di dalamnya. "Ini seperti pancake collapse, di mana lantai atas jatuh dan menimpa yang di bawah secara beruntun," jelas seorang insinyur yang terlibat dalam investigasi awal.
Faktor lain yang disorot adalah keterlibatan santri dalam proses pembangunan. Di banyak ponpes, santri sering membantu pekerjaan fisik sebagai bagian dari pendidikan kemandirian. Tapi tanpa pengawasan profesional yang ketat, ini bisa berbahaya. Selain itu, gempa kecil dengan magnitudo 3,2 yang terjadi di sekitar Jawa Timur beberapa jam sebelumnya diduga menjadi pemicu, meski bukan penyebab utama. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menekankan bahwa audit keselamatan bangunan harus menjadi prioritas, terutama di lembaga pendidikan yang padat penghuni.
Ini bukan pertama kalinya kejadian serupa terjadi di Indonesia. Ingat tragedi runtuhnya gedung sekolah di Cianjur tahun lalu? Pola yang sama: konstruksi cepat demi kebutuhan, tapi mengabaikan standar keselamatan. Tragedi Ponpes Al Khoziny ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk seluruh negeri.
Respons Pemerintah dan Masyarakat: Solidaritas di Tengah Duka
Pemerintah pusat dan daerah langsung bergerak cepat. Presiden telah menyatakan duka cita mendalam dan memerintahkan bantuan darurat, termasuk biaya pengobatan gratis untuk korban selamat serta santunan untuk keluarga yang ditinggalkan. Kementerian Agama (Kemenag) mengumumkan rencana audit nasional terhadap ribuan ponpes di Indonesia, memastikan setiap bangunan memenuhi standar SNI (Standar Nasional Indonesia). "Kami tidak ingin ini terulang. Keselamatan santri adalah prioritas," kata Menteri Agama dalam konferensi pers kemarin.
Masyarakat juga tak tinggal diam. Kampanye donasi online meledak di media sosial, dengan hashtag #BantuPonpesAlKhoziny trending di X dan Instagram. Ribuan orang menyumbang mulai dari uang tunai hingga perlengkapan medis. Komunitas lokal di Sidoarjo membentuk posko bantuan, menyediakan makanan dan tempat istirahat bagi tim SAR. Bahkan, beberapa pesantren tetangga mengirimkan santri mereka untuk membantu membersihkan puing, menunjukkan semangat gotong royong yang kuat.
Tapi di balik solidaritas, ada kritik tajam. Beberapa aktivis hak anak menyoroti kurangnya regulasi ketat untuk ponpes swasta. "Mengapa santri harus ikut bangun gedung? Ini bukan era gotong royong tanpa aturan," kata seorang pengamat pendidikan. Diskusi ini membuka mata kita tentang perlunya keseimbangan antara tradisi agama dan standar modern keselamatan.
Implikasi Jangka Panjang: Membangun Kembali dengan Lebih Kuat
Tragedi ini bukan akhir, tapi awal dari perubahan. Bagi Ponpes Al Khoziny, pemimpin pesantren berjanji akan membangun kembali musala dengan desain yang lebih aman, melibatkan arsitek profesional. Ini juga momentum untuk mereformasi sistem pendidikan pesantren secara nasional: dari pelatihan keselamatan hingga asuransi bagi santri.
Pada skala lebih luas, kejadian ini mengingatkan kita tentang kerentanan infrastruktur di Indonesia, negara rawan bencana alam. Tren masa depan mungkin melibatkan penggunaan teknologi seperti sensor pintar untuk memantau stabilitas bangunan. Bagi keluarga korban, proses penyembuhan akan panjang, tapi dukungan komunitas bisa menjadi obat mujarab.
Di tengah duka, ada harapan. Cerita santri yang selamat dan tetap melantunkan ayat Al-Qur'an di tenda pengungsian menunjukkan keteguhan iman. Ini bukti bahwa meski bangunan runtuh, semangat tak pernah padam.
