Terungkap! Motif Bullying di Balik Ledakan Mengerikan SMAN 72 Jakarta: Densus 88 Tegaskan Bukan Terorisme, 96 Korban Masih Trauma
Kronologi Ledakan yang Menggemparkan Ibukota
Semuanya bermula pada hari Rabu, 5 November 2025, sekitar pukul 12.30 WIB, saat jam istirahat sekolah sedang ramai. Kantin SMAN 72, yang biasanya menjadi tempat berkumpul siswa untuk makan siang, tiba-tiba berubah menjadi medan bencana. Saksi mata menggambarkan ledakan itu seperti guntur yang menyambar dari dalam ruangan, disertai asap tebal dan pecahan kaca yang beterbangan. "Saya sedang antre beli nasi goreng, tiba-tiba ada suara 'boom' yang sangat keras. Semua orang berteriak dan lari," ujar seorang siswa kelas 11 yang enggan disebut namanya.
Menurut rekonstruksi awal dari tim forensik, ledakan berasal dari sebuah perangkat rakitan sederhana yang disembunyikan di bawah salah satu meja kantin. Bahan peledak yang digunakan diduga campuran bahan kimia rumah tangga yang mudah didapat, seperti pupuk dan bahan pembersih, yang diracik menjadi bom improvisasi. Kerusakan tidak terlalu luas—hanya merusak sebagian kantin dan ruang kelas terdekat—namun dampaknya terhadap korban sangat parah. Sebanyak 96 orang terluka, dengan 20 di antaranya mengalami luka bakar dan patah tulang yang memerlukan perawatan intensif di rumah sakit terdekat seperti RSCM dan RS Fatmawati. Untungnya, tidak ada korban jiwa, meski beberapa siswa kecil hampir saja menjadi korban fatal jika tidak segera dievakuasi.
Pihak sekolah segera menutup akses dan memanggil tim penjinak bom dari Gegana Brimob. Evakuasi berlangsung cepat, tapi kekacauan sempat meluas ke jalan raya sekitar, menyebabkan kemacetan parah di kawasan Jakarta Selatan. Orang tua siswa berbondong-bondong datang, menciptakan suasana panik yang belum pernah terlihat sebelumnya di sekolah negeri bergengsi ini.
Motif Bullying: Kisah Tragis di Balik Aksi Nekat
Setelah tiga hari penyelidikan intensif, polisi akhirnya mengungkap pelaku: seorang siswa kelas 12 berinisial R.A., berusia 17 tahun, yang ternyata menjadi korban bullying berkepanjangan. Menurut keterangan dari teman-temannya, R.A. sering menjadi sasaran ejekan kelompok siswa populer karena penampilan fisiknya yang dianggap "aneh" dan prestasi akademiknya yang rendah. Bullying ini bukan hanya verbal—ada laporan pemukulan ringan, pengucilan sosial, dan bahkan pemerasan uang jajan yang berlangsung selama lebih dari setahun.
"Kasus ini menyoroti sisi gelap dari lingkungan sekolah yang seharusnya aman," kata seorang psikolog anak yang terlibat dalam konseling pasca-insiden. R.A. diketahui telah mencoba melapor ke guru BK, tapi laporannya dianggap sepele dan tidak ditindaklanjuti dengan serius. Akhirnya, tekanan itu meledak—secara harfiah. Pelaku mengaku dalam interogasi bahwa ia meracik bom itu sebagai "balas dendam" untuk membuat para pembully merasakan ketakutan yang sama. "Saya ingin mereka tahu bagaimana rasanya diteror setiap hari," katanya, seperti dikutip dari catatan polisi.
Ini bukan kasus bullying pertama di Indonesia yang berujung tragis. Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan peningkatan laporan bullying di sekolah-sekolah urban sebesar 30% dalam dua tahun terakhir, dipicu oleh pengaruh media sosial dan tekanan kompetisi akademik. SMAN 72, yang dikenal dengan siswa berprestasi tinggi, ternyata menyimpan masalah internal yang selama ini tertutup rapat.
Respons Otoritas: Densus 88 Pastikan Bukan Terorisme
Segera setelah ledakan, spekulasi tentang terorisme merebak di media sosial. Beberapa akun bahkan menyebarkan rumor bahwa ini bagian dari jaringan radikal. Namun, Densus 88 dengan cepat turun tangan untuk memverifikasi. "Setelah memeriksa jejak digital pelaku dan bahan peledak, kami menyimpulkan ini murni tindakan kriminal individu, tanpa kaitan dengan kelompok teroris mana pun," tegas juru bicara Densus 88 dalam konferensi pers kemarin.
Polisi juga menangkap dua siswa lain sebagai komplotan, yang diduga membantu R.A. dalam mendapatkan bahan peledak. Ketiganya kini menghadapi dakwaan pidana berat di bawah UU Perlindungan Anak dan UU tentang Bahan Peledak, dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara. Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, menyatakan akan segera melakukan audit nasional terhadap program anti-bullying di seluruh sekolah. "Kita tidak boleh membiarkan bullying menjadi bom waktu di lingkungan pendidikan," katanya dalam pernyataan resmi.
Dampak Jangka Panjang: 96 Korban Bergulat dengan Trauma
Bagi para korban, ledakan ini bukan hanya luka fisik, tapi juga bekas mendalam di jiwa. Sebanyak 96 orang—70 siswa, 20 guru, dan 6 staf—masih menjalani terapi psikologis di pusat rehabilitasi yang didirikan khusus oleh Pemprov DKI Jakarta. Beberapa siswa mengalami gejala PTSD, seperti mimpi buruk, kecemasan berlebih, dan kesulitan berkonsentrasi. "Anak saya sekarang takut pergi ke sekolah. Setiap suara keras membuatnya panik," cerita seorang ibu korban.
Sekolah SMAN 72 ditutup sementara hingga akhir bulan ini untuk renovasi dan evaluasi keamanan. Komunitas lokal turut bergerak, dengan kampanye #StopBullyingSMAN72 yang viral di media sosial, mengumpulkan donasi untuk korban dan advokasi pendidikan anti-kekerasan. Psikolog menyarankan agar orang tua lebih proaktif memantau anak-anak mereka, sementara sekolah diimbau untuk menerapkan sistem pelaporan anonim yang lebih efektif.
Menuju Pencegahan: Pelajaran dari Tragedi Ini
Ledakan di SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat pahit bahwa kriminalitas di Indonesia tidak selalu datang dari luar, tapi bisa lahir dari masalah sehari-hari seperti bullying. Di tengah maraknya kasus kekerasan remaja, pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan inklusif. Apakah ini akan menjadi titik balik? Hanya waktu yang akan menjawab, tapi satu hal pasti: trauma 96 korban ini tidak boleh sia-sia. Mari kita jadikan ini momentum untuk perubahan nyata di dunia pendidikan kita.
