Geger Jakbar: Suami Gila Cemburu Potong Leher Istri Sendiri Hingga Tewas – Rekening Dormant Miliaran Jadi Petunjuk Gelap di Balik Pembunuhan!
Insiden ini bukan sekadar berita kriminal biasa. Di tengah maraknya kasus kekerasan domestik di Indonesia, pembunuhan ini meledak seperti bom waktu, memicu gelombang kecaman di media sosial dan diskusi nasional tentang betapa rapuhnya ikatan rumah tangga di era digital. Dengan ribuan warganet yang membagikan cerita serupa, pertanyaan besar kini bergaung: Apakah ini akhir dari mimpi buruk, atau awal dari rahasia yang lebih dalam?
Kronologi Tragis: Dari Cemburu Kecil Hingga Darah Berceceran
Semuanya bermula dari sebuah pertengkaran kecil yang meledak pada dini hari. Menurut tetangga yang mendengar jeritan pertama, pasangan ini – yang kami sebut saja Andi dan Sari untuk menjaga privasi – tampak seperti keluarga biasa di kompleks perumahan elit Kebon Jeruk. Andi, seorang pengusaha properti yang jarang pulang sebelum tengah malam, dikenal sebagai sosok pemarah tapi penyayang. Sari, di sisi lain, sering terlihat mengantar anak-anak mereka ke sekolah sambil tersenyum lebar, meski belakangan ini wajahnya tampak lelah.
Malam itu, sekitar pukul 02.00 WIB, Andi pulang lebih awal dari biasanya. Saksi mata, seorang satpam kompleks yang enggan disebut namanya, mengisahkan bagaimana Andi berteriak-teriak di telepon, menuduh Sari berhubungan dengan pria lain. "Saya lihat dia keluar dari mobil sambil pegang ponsel istrinya. Mukanya merah padam, seperti setan kesurupan," cerita pria itu dengan suara bergetar. Tak lama kemudian, jeritan Sari memecah keheningan malam. Andi, dalam akses amarahnya, meraih pisau dapur yang kebetulan ada di meja makan dan menyerang leher istrinya berulang kali.
Warga yang terbangun berbondong-bondong ke lokasi. "Darahnya berceceran di teras, seperti adegan film horor," ujar seorang ibu rumah tangga yang tinggal hanya dua rumah dari TKP. Sari dilarikan ke RS terdekat, tapi nyawanya tak tertolong. Andi, yang sempat melarikan diri ke halaman belakang, akhirnya menyerahkan diri pada petugas polisi yang datang pukul 03.15 WIB. Kini, ia ditahan di Mapolsek Tambora dengan tuduhan pembunuhan berencana, meski motifnya masih diselidiki lebih lanjut.
Polisi langsung mengamankan TKP dan menyita ponsel keduanya. Dari sana, jejak digital mulai terungkap: pesan-pesan mesra Sari dengan seorang pria misterius yang ternyata rekan kerja Andi di proyek properti. "Ini bukan cemburu biasa. Ada sesuatu yang lebih besar di baliknya," kata seorang sumber dekat penyidik yang enggan disebut jati dirinya.
Petunjuk Gelap: Rekening Dormant Miliaran yang Bangkit dari Kubur
Yang membuat kasus ini semakin mencekam adalah penemuan rekening bank dormant senilai lebih dari Rp5 miliar. Rekening itu, yang terdaftar atas nama Andi dan tak tersentuh selama hampir tiga tahun, tiba-tiba aktif dua hari sebelum pembunuhan. Transaksi mencurigakan – transfer keluar ke rekening asing dan pembelian aset kripto – kini menjadi fokus utama tim Resmob Polda Metro Jaya.
Bayangkan ini: Sebuah rekening yang "mati suri" sejak 2022, tiba-tiba hidup kembali seperti mayat bangkit. Menurut ahli forensik keuangan yang dilibatkan, pola transaksi menunjukkan kemungkinan keterlibatan jaringan pencucian uang. "Ini bisa jadi motif tersembunyi. Bukan hanya soal perselingkuhan, tapi mungkin Sari tahu terlalu banyak tentang urusan gelap suaminya," spekulasi seorang pengamat kriminalitas urban.
Rekening dormant seperti ini sering kali menjadi sarang ular di dunia keuangan Indonesia. Menurut data internal OJK yang bocor ke publik tahun lalu, ada ribuan rekening serupa yang menyimpan aset tak terhitung, sering kali terkait korupsi atau bisnis haram. Dalam kasus ini, transfer Rp500 juta ke akun di Singapura tepat sebelum kejadian membuat polisi curiga. Apakah Andi membunuh untuk menutup mulut? Atau justru Sari yang hendak mengungkap semuanya? Penyidik belum berkomentar resmi, tapi rumor di kalangan elite properti Jakarta mulai beredar: Andi terlibat dalam skema suap proyek apartemen di wilayah barat.
Dampak Menghantui: Keluarga Hancur, Lingkungan Terluka
Di balik sensasi headline, ada luka yang tak terlihat. Dua anak pasangan ini – remaja berusia 16 dan 14 tahun – kini ditempatkan di bawah pengawasan Dinas Sosial DKI Jakarta. Mereka menyaksikan tragedi itu dari kamar mereka, trauma yang mungkin menghantui seumur hidup. "Anak-anak itu biasanya ceria, main bola di lapangan setiap sore. Sekarang, mereka bahkan tak mau bicara," keluh seorang tetangga yang sering mengajak mereka bermain.
Kasus ini juga membuka luka lama soal kekerasan domestik di Indonesia. Data Komnas Perempuan mencatat peningkatan 30% kasus KDRT sepanjang 2025, didorong oleh tekanan ekonomi pasca-pandemi dan maraknya aplikasi kencan yang memicu cemburu. Di Jakarta saja, polisi menangani rata-rata 50 laporan serupa per bulan. "Ini bukan isu pribadi lagi. Ini epidemi sosial yang butuh intervensi serius," tegas seorang aktivis perempuan yang menangani korban KDRT di Jakarta Barat.
Warga Kebon Jeruk pun merasakan getarannya. Kompleks yang biasanya tenang kini dijaga ketat, dengan patroli polisi yang bertambah. "Kami takut. Kalau suami tetangga saja bisa begini, siapa lagi yang aman?" tanya seorang pedagang warung kopi di ujung jalan, sambil menggelengkan kepala. Diskusi di grup WhatsApp RT pun ramai: dari doa untuk keluarga korban hingga tuntutan agar pemerintah perketat undang-undang anti-KDRT.
Mengapa Ini Bukan Akhir, Tapi Peringatan Keras?
Pembunuhan Sari bukan sekadar cerita tragis satu keluarga. Ini cermin gelap dari masyarakat kita: di mana cinta bisa berubah menjadi racun, dan rahasia keuangan menjadi senjata mematikan. Polisi menjanjikan pengungkapan penuh dalam 48 jam ke depan, termasuk identitas pria misterius dalam pesan Sari. Tapi lebih dari itu, kasus ini menuntut kita bertanya: Bagaimana mencegah tragedi serupa sebelum darah lagi-lagi tumpah?
Untuk para istri yang mungkin membaca ini, ingatlah: bantuan ada di ujung telepon. Hotline KDRT nasional siap 24 jam. Dan bagi para suami, cemburu bukan alasan untuk kekerasan – itu pintu masuk neraka. Di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah tidur, semoga kisah ini menjadi pengingat bahwa rumah seharusnya menjadi benteng, bukan medan perang.

