KUHAP Baru Disahkan DPR: Reformasi Hukum atau Ancaman Baru bagi Kebebasan Warga?
Latar Belakang: Mengapa KUHAP Perlu Diperbarui?
KUHAP yang lama, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, telah berusia lebih dari empat dekade. Di era digital dan globalisasi, aturan ini dianggap ketinggalan zaman. KUHAP 1981 tidak mampu mengakomodasi tantangan hukum modern seperti bukti elektronik, kejahatan siber, atau pendekatan keadilan restoratif yang kini menjadi tren global. Selain itu, pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2023, yang akan berlaku efektif per 2 Januari 2026, menuntut harmonisasi dengan hukum acara pidana yang relevan.
Revisi KUHAP dimulai sejak Februari 2025 sebagai inisiatif DPR. Dalam prosesnya, DPR mengklaim telah melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, organisasi masyarakat sipil, hingga kelompok rentan. Tujuannya adalah menciptakan hukum acara pidana yang tidak hanya mendukung penegakan hukum, tetapi juga memperkuat perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan memastikan keadilan bagi semua pihak.
Substansi KUHAP Baru: Apa Saja yang Berubah?
KUHAP baru membawa 14 substansi utama yang diklaim sebagai terobosan. Berikut beberapa poin kunci yang menjadi sorotan:
- Pendekatan Keadilan Restoratif KUHAP baru menekankan pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif, sejalan dengan semangat KUHP 2023. Ini berarti penyelesaian perkara pidana tidak selalu harus melalui pengadilan, tetapi bisa diselesaikan di luar sidang dengan fokus pada pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku. Contohnya, mediasi antara pelaku dan korban untuk kasus ringan seperti penganiayaan ringan atau pencurian kecil.
- Penguatan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Undang-undang ini memperjelas hak-hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk perlindungan dari ancaman atau kekerasan. Misalnya, penyandang disabilitas kini diakui memiliki hak yang sama untuk menjadi saksi, dengan jaminan aksesibilitas selama proses peradilan.
- Modernisasi Proses Peradilan KUHAP baru mengakomodasi teknologi, seperti sidang daring dan penggunaan alat bukti elektronik. Ini diharapkan membuat proses peradilan lebih cepat, transparan, dan efisien.
- Penguatan Peran Advokat Advokat kini memiliki peran lebih aktif dalam mendampingi tersangka sejak tahap penyelidikan. Negara juga diwajibkan memberikan bantuan hukum gratis bagi masyarakat yang tidak mampu.
- Kontrol Yudisial yang Lebih Ketat Upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, atau penggeledahan kini harus berdasarkan indikator objektif dan diawasi pengadilan. Hal ini bertujuan mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat.
Meski terdengar menjanjikan, sejumlah pasal dalam KUHAP baru memicu kekhawatiran. Pasal-pasal yang dianggap “karet” atau terlalu longgar menjadi titik kritis yang memicu gelombang penolakan.
Kontroversi: Pasal Bermasalah yang Mengundang Kritik
Meskipun DPR menegaskan bahwa KUHAP baru dirancang untuk memperkuat posisi warga negara, banyak pihak menilai sebaliknya. Koalisi masyarakat sipil, aktivis HAM, hingga akademisi mengkritik sejumlah pasal yang dinilai berpotensi merugikan kebebasan individu. Berikut beberapa isu utama:
- Penangkapan dan Penahanan Tanpa Izin Pengadilan Salah satu pasal yang disorot adalah ketentuan penangkapan dan penahanan yang dinilai terlalu bergantung pada subjektivitas penyidik. Tanpa pengawasan ketat dari pengadilan, tindakan ini rawan disalahgunakan, terutama dalam kasus-kasus bermotif politik.
- Kewenangan Penyidik yang Diperluas KUHAP baru memberikan wewenang tambahan kepada penyidik, seperti pembelian terselubung (undercover buy) dan pengiriman di bawah pengawasan (controlled delivery), untuk semua jenis tindak pidana. Tanpa syarat dan mekanisme yang jelas, metode ini dikhawatirkan bisa digunakan untuk menjebak warga.
- Restorative Justice yang Kabur Konsep keadilan restoratif, meski inovatif, menuai kritik karena kurangnya pengawasan pengadilan. Ada kekhawatiran bahwa penyelesaian damai di luar pengadilan bisa dimanipulasi untuk “menghilangkan” kasus, terutama yang melibatkan pihak berpengaruh.
- Ancaman terhadap Kebebasan Akademik Beberapa pasal, seperti yang mengatur penyitaan perangkat elektronik atau penyadapan, dikhawatirkan mengancam kebebasan akademik. Akademisi yang kritis terhadap kebijakan pemerintah bisa menjadi target, dengan dalih penyelidikan pidana.
- Minimnya Transparansi Proses Legislasi Proses penyusunan KUHAP baru dianggap kurang terbuka. Banyak masyarakat sipil mengeluhkan sulitnya mengakses draf resmi, sehingga masukan publik tidak sepenuhnya terakomodasi. Bahkan, ada tuduhan bahwa DPR mencatut nama organisasi masyarakat sipil untuk memberi kesan proses legislasi telah partisipatif.
Reaksi Publik: Demonstrasi dan Somasi
Pengesahan KUHAP baru tidak berlangsung mulus. Sehari sebelum rapat paripurna, ratusan mahasiswa dan aktivis menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR, menuntut penundaan pengesahan. Mereka membawa spanduk bertuliskan “#SemuaBisaKena”, menggambarkan kekhawatiran bahwa KUHAP baru bisa menjerat siapa saja tanpa pandang bulu.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, yang terdiri dari organisasi seperti YLBHI, ICJR, dan KontraS, bahkan melayangkan somasi terbuka kepada Presiden dan DPR. Mereka mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kembali pasal-pasal bermasalah dan memastikan proses legislasi yang lebih transparan. Salah satu aktivis menegaskan, “KUHAP seharusnya menjadi alat untuk melindungi warga, bukan malah menjadi senjata untuk menekan kebebasan.”
Di sisi lain, DPR dan pemerintah tetap bersikukuh bahwa KUHAP baru telah melalui proses panjang dan partisipatif. Ketua Komisi III DPR menegaskan bahwa mayoritas substansi berasal dari masukan masyarakat, dan isu-isu seperti penyadapan akan diatur dalam undang-undang terpisah untuk memastikan pengawasan yang ketat.
Dampak ke Depan: Reformasi atau Kemunduran?
KUHAP baru dijadwalkan berlaku mulai 2 Januari 2026, bersamaan dengan KUHP baru. Pemerintah berjanji segera menyiapkan belasan aturan turunan, termasuk tiga Peraturan Pemerintah (PP) yang dianggap krusial, untuk memastikan implementasi berjalan lancar. Namun, tanpa revisi pasal-pasal bermasalah, banyak pihak khawatir bahwa KUHAP baru justru akan menjadi kemunduran bagi reformasi hukum di Indonesia.
Bagi pendukungnya, KUHAP baru adalah langkah maju menuju sistem peradilan yang lebih humanis dan adaptif. Penguatan hak korban, perlindungan kelompok rentan, dan penggunaan teknologi dianggap sebagai terobosan yang telah lama dinanti. Namun, bagi pengkritiknya, KUHAP baru ibarat pedang bermata dua: di satu sisi menjanjikan keadilan, di sisi lain berpotensi menjadi alat represi jika tidak diimbangi dengan pengawasan yang kuat.
Apa yang Harus Dilakukan?
Di tengah polemik ini, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk memastikan KUHAP baru benar-benar menjadi alat reformasi, bukan ancaman bagi kebebasan warga:
- Transparansi dan Partisipasi Publik Pemerintah dan DPR perlu membuka ruang dialog yang lebih luas dengan masyarakat sipil untuk mengevaluasi pasal-pasal bermasalah sebelum aturan turunan disusun.
- Pengawasan Ketat oleh Pengadilan Setiap upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, atau penyadapan, harus diawasi secara ketat oleh pengadilan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
- Sosialisasi yang Masif Masyarakat perlu diedukasi tentang hak dan kewajiban mereka di bawah KUHAP baru, sehingga tidak ada celah bagi aparat untuk memanfaatkan ketidaktahuan warga.
- Evaluasi Berkala Implementasi KUHAP baru harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan tidak ada dampak negatif terhadap kebebasan sipil atau penegakan hukum.
Kesimpulan: Waspada dan Berpartisipasi
Pengesahan KUHAP baru menandai babak baru dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Di satu sisi, ia menawarkan harapan untuk proses hukum yang lebih adil, cepat, dan modern. Di sisi lain, pasal-pasal yang kontroversial menjadi pengingat bahwa reformasi hukum tidak boleh mengorbankan kebebasan warga. Publik, terutama masyarakat sipil, memiliki peran penting untuk terus mengawal implementasi KUHAP baru agar tetap berada di jalur yang benar.
Sebagai warga negara, kita tidak boleh hanya menjadi penonton. Mari aktif memantau, mengkritik, dan berkontribusi agar KUHAP baru benar-benar menjadi pilar keadilan, bukan alat untuk mengekang kebebasan. Karena, seperti yang dikatakan dalam demonstrasi kemarin, “#SemuaBisaKena” jika kita lengah.
